Oleh : Dhimas Raditya Lustiono, S.Kep
“Shalat id itu di lapangan!” Kata almarhum nenek ketika mengetahui saya pulang shalat id dari Masjid.
Pernyataan yang terlontar dari Almarhum Nenek saya terucap pada medio 2007 saat saya masih bersekolah di jenjang SMP, kala itu kalimat tersebut tentu saja membuat saya merasa keheranan, apalagi pernyataan tersebut saya dengar saat momen lebaran di mana banyak orang saling bermaaf-maafan.
Hingga suatu ketika pada lebaran selanjutnya, keluarga saya mendapatkan selebaran dari Pimpinan Ranting Muhammadiyah Kejiwan, selebaran tersebut berisi tentang ajakan untuk menunaikan shalat id di lapangan.
Timbul pertanyaan dalam hati saya kala itu, mengapa saya mesti menunaikan shalat id di tempat terbuka, alih-alih di Masjid. Padahal jarak antara rumah saya ke masjid lebih dekat daripada jarak dari rumah ke lapangan.
Lambat laun saya mengetahui bahwa orang yang shalat id di lapangan itu berarti warga persyarikatan Muhammadiyah, sedangkan orang yang shalat id di masjid adalah orang NU, kurang lebih seperti itulah yang saya pikirkan saat usia saya masih terbalut seragam putih biru.
Menemukan Muhammadiyah
Banyak jalan menuju Roma, pastinya ada banyak cara pula untuk bertemu dengan Muhammadiyah, ada yang bertemu karena lingkungan keluarga yang merupakan kader persyarikatan, ada pula yang bertemu karena menempuh studi di sekolah Muhmmadiyah atau bertemu karena menjadi karyawan di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), bahkan boleh jadi ada pula yang bertemu dengan Muhammadiyah karena perjodohan.
Saya pribadi pertama kali mengenal Muhammadiyah sejak SD, kala itu saya yang merupakan siswa SD negeri pernah tergabung dalam perguruan Bela Diri “Tapak Suci” meski hanya bertahan selama 2 tahun.
Pertemuan selanjutnya adalah ketika saya diajak teman di desa untuk mengikuti pengajian di IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah), namun keaktifan saya ada pertemuan ini juga tidak berlangsung lama, karena waktu itu saya melanjutkan studi di Purwokerto sehingga tidak memungkinkan saya untuk aktif dalam kegiatan ranting.
Setelah lulus kuliah, lowongan kerja dari AUM (RS PKU) membuat saya tertarik untuk menuliskan surat lamaran kerja, saat itu banyak yang menyarankan saya untuk baca-baca tulisan perihal kemuhammadiyahan, bahkan saya sampai membeli buku yang berisi profil tentang tokoh-tokoh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari waktu ke waktu.
Tak hanya itu saya juga melengkapi diri dengan membuat NBM (Nomor Baku Muhammadiyah), di mana secara kebetulan, ketuaPCM-nya adalah teman ayah saya waktu masih SMP.
Setelah melewati serangkaian seleksi dan akhirnya lolos, saya ditempatkan di Klinik Utama PKU Muhammadiyah Merden yang kerap disebut PKU Merden, hingga tulisan ini ditulis saya masih berstatus sebagai staff medis di Unit Gawat Darurat.
Seiring waktu saya bekerja di PKU Merden, literasi tentang Kemuhammadiyahan saya mulai sedikit meningkat, saya jadi tahu kalau ternyata Muhammadiyah hampir memiliki apa yang pemerintah miliki.
Misalnya, pemerintah punya Rumah Sakit, jangan tanya berapa jumlah rumah sakit dan klinik milik Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemerintah memiliki sekolah, Muhammadiyah juga punya, bahkan menerima mahasiswa dari kalangan non-muslim. Tak hanya sampai di situ, ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia, Muhammadiyah juga menginisiasi MCCC (Muhammadiyah Covid Comand Cente)r yang diketuai oleh dokter Corona.
Hal tersebut membuat saya berpikir bahwa gaya dakwah Muhammadiyah adalah dengan cara turut berperan dalam menangani permasalahan yang ada di masyarakat.
Saya semakin yakin bahwa mengabdi kepada Muhammadiyah sama halnya dengan mengabdi kepada dunia, sehingga sudah sepatutnya karyawan yang bekerja di AUM juga turut berperan dalam menggembirakan dakwah persyarikatan, tidak hanya sekadar berangkat kerja, pulang kerja lalu terima gaji di akhir bulan. Lebih dari itu, karyawan yang bekerja di AUM haruslah menanamkan spirit bermuhammadiyah seperti yang ada pada lirik Mars Sang Surya.
Di sisi lain, keluarga saya juga turut aktif dalam mengikuti kajian ahad pagi yang diselenggarakan oleh PD Muhammadiyah, meskipun tidak semua keluarga memiliki NBM, namun spirit Muhammadiyah itu masih ada sampai sekarang, setidaknya kami sudah tidak mempertanyakan lagi, kenapa kita mesti shalat id di lapangan.
Menjaga Kader
Beberapa AUM terus berupaya untuk menambah jumlah kader persyarikatan, salah satunya adalah ketika perekrutan, di mana calon karyawan harus bisa mengerjakan soal-soal tentang kemuhammadiyahan, tentu saja hal ini menjadi priviledge tersendiri bagi calon karyawan yang pernah menempuh studi di sekolah Muhammadiyah.
Keberadaan kader tentu saja harus dijaga agar dakwah persyarikatan terus bergerak, ujaran yang mengatakan “AUM Elit, Kaderisasi Sulit” perlu menjadi perhatian bersama bahwa Muhammadiyah saat ini membutuhkan kader yang mau mengambil peran.
Tak berlebihan kiranya jika kaderisasi bisa dimulai dari lingkungan keluarga, misalnya jika Ayah dan Ibu adalah pengurus PCM dan PCA, tentu tidak ada salahnya untuk mengirimkan anaknya mengikuti diklat KOKAM untuk laki-laki ataupun mengikuti Ortom Nasyiatul Aisyiyah untuk perempuan.
Para pimpinan AUM juga seyogyanya berkenan mengirimkan karyawannya untuk hadir dan mendukung kegiatan persyarikatan, seperti pengajian, bakti sosial ataupun kegiatan Muhammadiyah agar pergerakan persyarikatan menjadi lebih semarak dan dinamis. Karena Muhammadiyah adalah pergerakan, tidak hanya sekadar pengurusan NBM demi keanggotaan.