Diskursus emansipasi wanita sampai detik ini masih kerap digaungkan secara global. Hal ini tidak lepas dari adanya fenomena di sebagian wilayah dunia yang menganut budaya patriarki secara ketat dan menjadi sorotan pihak Barat yang mengagungkan gerakan emansipasi.
Namun kasus di Indonesia sendiri menunjukkan bahwa budaya patriarki tidak bersifat kaku. Emansipasi wanita juga bisa dibilang merupakan wacana basi. Apalagi bila dihadapkan dengan jamaah dari persyarikatan Muhammadiyah.
Melalui sayap ‘Aisyiah, Muhammadiyah menegaskan bahwa peran perempuan dalam kehidupan itu setara dengan kaum laki-laki. Gerak langkah perempuan di persyarikatan dalam bahasanya Agus Priyanto bukan sekadar konco dapur. Mereka memiliki peran strategis dalam membangun peradaban. Terlebih dalam Mars ‘Aisyiah digaungkan. “Di Tanganmulah nasib bangsa”.
Dalam rangka milad Aisyiah, Salembo edisi tanggal 24 Juni 2025, yang diprakarsai oleh Majelis Tabligh PDM Banjarnegara, mencoba mengangkat topik Risalah Perempuan Berkemajuan (RPB). Sebagai pemateri pada kesempatan tersebut Dra. Mutmainah Sri Muryati, wakil ketua PDA Banjarnegara.
Menurut pemateri, para kader perempuan Muhammadiyah saat ini terus berkomitmen akan turut memajukan peradaban. Apalagi setelah dikeluarkannya putusan yang mendeklarasikan Risalah Perempuan Berkemajuan .
RPB merupakan proses panjang kontekstualisasi persyarikatan dalam memberdayakan perempuan yang semula hanya sebatas pada tataran istri yang shalehah (1939) menuju insan berkemajuan yang selaras dengan keputusan muktamar satu abad Muhammadiyah (2010).
Meskipun ruang gerak perempuan di Muhammadiyah sudah sedemikian luas dan bahkan pada majelis tertentu mereka juga terlibat, tapi peran sentral sebagai pengurus keluarga tidak boleh ditinggalkan sama sekali. Artinya, kemajuan yang dicapai seorang perempuan tidak boleh meninggalkan kodratnya di lingkup keluarga. Hal ini sejalan dengan nilai dasar RPB yang menjadi acuan.
Setidaknya ada tiga nilai dasar dari RPB yang telah disepakati, yaitu Tauhid, Keadilan dan Rahmat. Melalui nilai tersebut, perempuan Muhammadiyah harus memegang teguh nilai tauhid dalam mengarungi sepak terjang mereka. Tujuan utama pengembangan diri dan lingkungannya sebagai manifestasi dari rasa syukur atas karunia kenikmatan yang telah diberi adalah merengkuh ridha Ilahi. Oleh karena itu nilai rahmah juga tidak bisa ditanggalkan karena terkait soal cinta, kasih sayang dan perdamaian yang sangat relevan dengan dunia perempuan.
Nilai dasar RPB kemudian dikuatkan dengan perinciaan karakter perempuan berkemajuan yang terinspirasi dari Al-Quran. Di antaranya tetap menjunjung tinggi keimanan dan ketaqwaan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga akan muncul pribadi salehah baik dalam aspek akhlak, ibadah, maupun muamalahnya. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan perempuan untuk menjawab perkembangan zaman. Pada konteks ini, karakter kader dalam ranah kemampuan tajdid dan inklusifisme bermuamalah memiliki peran kunci.
Tidak mengherankan kemudian ketika nilai dasar dan kriteria RPB menjiwai para kader ‘Aisyiah, maka akan muncul komitmen memajukan bangsa dan dunia sebagaimana tertuang dalam mars kebanggaan mereka.
Adapun komitmen kader ‘Aisyiah dalam rangka aktualisasi RPB mencakup penguasan ilmu pengetahuan dan teknologi, pelestarian lingkungan hidup, penguatan keluarga sakinah, pengembangan masyarakat, filantropi berkemajuan, menjadi aktor perdamaian, kemandirian ekonomi, mengisi partisipasi publik dan tentu saja memainkan peran kebangsaan dan kemanusiaan yang kebih universal.
Bagaimanapun juga dalam implementasi RPB masih banyak ditemui pekerjaan rumah yang harus diperbaiki. Oleh karena itu penguatan jamaah dan jam’iah tidak boleh diabaikan melalui dakwah wasatiyyah yang mencerahkan, menggerakkan, dan menggembirakan.
Wallahu a’lam bishowab.
Kontributor: MaRs
Editor: Dhimas