Masih ingatkah dengan pelajaran tentang rasi bintang yang kita pelajari saat berada di bangku sekolah? Jika masih ingat tentu masih ada sedikit residu yang bisa kita ketahui bahwa rasi bintang berguna bagi navigasi para pelaut terdahulu sebagai petunjuk arah mata angin. Karena pada zamannya belum ditemukan teknologi GPS.
Para pelaut terdahulu tentu wajib menguasai ilmu navigasi yakni dengan melihat rasi bintang di langit yang dapat menunjukkan mana arah utara, selatan, timur, barat dst. Jika seorang pelaut tidak cakap membaca rasi bintang, kemungkinan besar kapalnya akan terombang-ambing di tengah samudera dan tersesat kehilangan arah.
Selanjutnya izinkan saya bercerita dengan pengalaman yang dialami rekan saya, sebut saja Mr Dj. Singkat cerita Mr Dj menemukan sebungkus mi instant yang tidak diketahui siapa pemiliknya. Setelah benar-benar mengetahui bahwa mi instant tersebut tidak bertuan, Mr Dj berinisiatif untuk memasaknya. Tak butuh waktu lebih dari 7 menit, mi instan siap disantap dengan irisan cabe hijau.
Srrrp, Mr Dj memakannya dengan sangat lahap. Namun 15 menit setelah Mr Dj menikmati mi yang dibuatnya, justru malah membuat Mr Dj mengalami sakit perut yang hebat, ia menyangka bahwa cabe yang ditambahkan terlalu banyak, tapi sepertinya tidak, karena sebenarnya Mr Dj memiliki tingkat toleransi terhadap rasa pedas di atas rata-rata.
Tidak hanya nyeri perut saja, bahkan Mr Dj merasa mual, hingga kemudian memuntahkan isi lambungnya, wajahnya pucat, kedua kakinya tampak kepayahan menahan beban tubuhnya. Lalu setelah kondisi tubuhnya sedikit membaik, Mr Dj mengambil bungkus mi yang sudah dimasaknya, ternyata baru saja ia ketahui bahwa Mi instant yang dimasak oleh Mr Dj sudah kadaluarsa sejak 3 bulan yang lalu.
Dari kedua kisah tersebut, bisa menemukan kunci yang sama dan harus kita sepakati, yakni membaca adalah jalan menuju keselamatan. Ya sekali lagi mari kita baca secara perlahan, membaca untuk selamat.
Namun yang perlu disepakati adalah, membaca di sini tidak hanya sekadar paham secara tekstual saja, seperti misalnya orang yang masih merokok di tempat yang tertera peringata dilarang merokok, padahal sudah jelas terpampang tulisan larangan merokok, tapi si perokok masih tetap mengeluarkan asap nikotin dari mulutnya.
Pada kesempatan ini saya ingin mengajak kepada siapapun yang membaca tulisan ini, untuk me-recall memory, kapan diri kita belajar membaca ‘ini ibu budi’, ‘ini bapak budi,’. Mungkin ada yang fasih di kelas 2 SD atau bahkan ketika masuk SD sudah mampu membaca dan menulis.
Terlepas dari kapan kita belajar membaca, berita miris sempat mampir di beranda media sosial, di mana ada siswa SMP yang kedapatan tidak bisa membaca. Tentunya ini adalah perkara yang tak bisa dianggap remeh, mengingat bahwa membaca merupakan salah satu hal dasar yang harus dikuasai oleh para pelajar di tingkat dasar, dan kasusnya adalah siswa SMP yang notabene sudah mulai belajar tentang membuat pantun dan memahami berbagai majas.
Dalam kasus tersebut tentunya kita tidak bisa menyalahkan siapapun, karena sekalipun ketahuan siapa yang salah, solusi dari buta aksara di tingkat SMP hanya bisa diatasi apabila seluruh pihak bersinergi untuk kemajuan pendidikan di Indonesia khususnya di bidang literasi.
Jika kalimat ini tidak terlampau kasar, saya ingin mengatakan bahwa siswa SMP yang tidak bisa membaca adalah manusia tersesat yang tidak tahu sesatnya di mana. Seperti seorang Nakhoda yang tidak tahu di mana letak kapalnya dan kemana arah kapal itu berlayar. Sehingga diperlukan upaya dari berbagai pihak agar kecakapan membaca di sekolah menjadi prioritas utama di sekolah.
Mari kita ingat kisah tentang perintah pertama yang ditujukan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, di mana malaikat Jibril yang merupakan utusan Allah SWT turun langsung untuk bertemu dengan Rasulullah, lalu menyampaikan perintah “Iqra Ya Muhammad.” Mari kita ambil benang merah di sini, bahwa tujuan dari kecakapan (membaca) adalah keselamatan.