Suatu hari ketika saya sedang berdinas, saya mendapatkan seorang pengantar pasien yang sudah 2 hari berturut-turut mengantarkan pasien ke IGD, kedua pasien yang diantarkannya adalah pasien kecelakaan, lalu orang tersebut berkelakar kepada saya.
“Saya dua kali nganter pasien, mestinya dapet komisi, donk” sahutnya sambil tertawa kecil.
“Ngapunten, Mas. Komisi seperti itu belum ada di sini, tapi dari kejadian ini sepertinya njenengan cocok jadi Driver Ambulance,” Timpal saya. Lalu dia menjawab.
“Duh, saya nggak punya ijazah, Mas.” Jawabnya.
Pemuda pengantar pasien tersebut saya lihat masih muda, usianya belum genap seperempat abad, dan dia memiliki anggapan bahwa ijazah SMP belum layak untuk bisa melamar pekerjaan.
Di sisi lain, saya kerap menemukan anak muda yang tidak melanjutkan sekolah, namun memiliki sepeda motor dan gadget yang lumayan oke. Hal ini seakan menunjukkan bahwa faktor ekonomi tidak mesti menjadi sebab seorang anak tidak lanjut sekolah.
Ada juga siswa yang setelah lulus SMP memilih untuk bekerja serabutan, seperti kuli bangunan atau melakukan pekerjaan apa saja termasuk menjaga parkir di suatu pasar malam.
Dalam hal ini, saya memiliki dua penyebab yang menjadi kemungkinan bagi siswa sekolah yang memilih untuk tidak melanjutkan sekolah. Pertama : Sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Kedua : Tidak memiliki cita-cita untuk dikejar.
Seorang anak yang sudah bisa menghasilkan uang sendiri terkadang tidak mau terkekang oleh peraturan di sekolah, misalnya saja adanya aturan untuk masuk kelas jam 7 atau peraturan tentang batas panjang rambut yang panjangnya tidak boleh menyentuh krah baju. Uang hasil bekerja yang dirasa cukup seakan membuatnya merasa tidak perlu lagi bersekolah. Apalagi jika orang tua tidak memberikan dukungan kepada anaknya untuk sekolah dan merasa cukup ketika anaknya bisa memenuhi kebutuhan sembako di rumah.
Bakhron Sodik, M.Pd.I selaku Kepala Sekolah MIM Karangtengah berpendapat, bahwa pendidikan bukan semata diukur dengan uang, tetapi juga untuk bekal hidup, karena semakin tinggi pendidikan akan semakin banyak pula pengetahuan yang didapat.
“Anak muda saat ini, suatu saat akan menjadi orang tua, tentu saja hal tersebut membutuhkan ilmu yang cukup untuk menjalani hidup agar kehidupan lebih tertata dengan baik,” Ujar Bakhron melalui pesan WhatsApp.
Dari apa yang dikatakan Bakhron bisa saya tarik sebuah kesimpulan, bahwa pendidikan sangatlah penting untuk bekal kehidupan. Dengan pendidikan seseorang akan mampu menjadi teknisi yang handal, dengan pendidikan pula dunia ini bisa melahirkan tenaga profesional yang mampu bersaing di dunia kerja.
Di sisi lain, turunnya minat untuk sekolah juga muncul karena ketiadaan cita-cita yang ingin dikejarnya. Mari kita sepakati, bahwa seorang siswa SD yang ingin kelak menjadi dokter, tentu saja dia harus melanjutkan sekolahnya, karena tidak mungkin ditemukan dokter hanya lulusan SD. Entah nanti cita-citanya bisa dicapai atau tidak, namun keberadaan cita-cita laksana api kecil yang tetap terjaga untuk kemudian sedikit menerangi masa depan yang masih berkabut tanpa bisa diduga.
Oleh karena itu diperlukan formulasi maupun inovasi dari para pelaku pendidikan agar anak didiknya memiliki cita-cita dan juga memiliki semangat untuk mengejarnya. Sehingga cita-cita yang terjaga inilah yang akan menjadi alasan bagi siswa, “Mengapa aku harus lanjut sekolah”.
Beberapa sekolah memilih menghadirkan alumni untuk membagikan pengalamannya kepada adik-adik kelasnya, hal ini tentu saja bisa menjadi ajang pembuka jalan bagi anak didik yang masih minim informasi tentang dunia pendidikan tingkat lanjutan.
Di sisi lain, program seperti Kelas Inspirasi juga bisa digerakkan untuk meningkatkan minat siswa dalam belajar maupun mengejar cita-citanya. Progam Kelas Inspirasi sendiri merupakan program yang memungkinkan tenaga professional (non-Guru) untuk mengajar atau berbagi tentang profesinya selama 1 hari di Sekolah Dasar. Sehingga para siswa bisa bertemu langsung dengan para profesional seperti Pilot, Pemadam Kebakaran, Polisi, Dalang, Penulis dan bahkan mereka bisa bertemu dengan profesi yang tak mereka bayangkan sebelumnya, seperti profesi penyidat ular, analis laborat, pustawakan dan lain sebagainya.
Sayangnya, kegiatan ini lebih menyasar kepada SD negeri. Meski demikian bukan tidak mungkin Muhammadiyah melalui Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (DIKDASMEN) bisa mengcopy-paste ide tersebut untuk kemudian menghadirkan berbagai kader yang telah bekerja untuk datang langsung ke Sekolah dan Madrasah di mana angka lanjut sekolahnya masih rendah.
Saya pernah terlibat dalam gerakan Kelas Inspirasi, dan tanggapan Kepala Sekolah amatlah positif, dikarenakan para siswa dapat belajar langsung dengan seorang profesional yang bersedia cuti dalam sehari untuk mengajar kepada para siswa.
Muhammadiyah memiliki berbagai Amal Usaha, tentu bukan tidak mungkin dokter maupun tenaga medis didatangkan ke sekolah bukan dalam rangka vaksinasi, tetapi dalam rangka memberikan edukasi kesehatan seperti misalnya menjaga gizi seimbang atau menjaga kesehatan gigi.
Tentu saja pergerakan ini bisa terjadi jika terjalin kolaborasi antar majelis ataupun lembaga, kolaborasi menjadi salah satu kunci suksesnya pergerakan persyarikatan. Muhammadiyah tentu perlu menjadi penggerak di sektor pendidikan, apalagi pendiri Muhammadiyah KH. Dahlan juga seorang pendidik .
Akhir kata, siapkah kita berbagi pengalaman dan cerita dengan siswa tentang apa profesi kita?