Sebagai anggota masyarakat tentulah menginginkan berada di lingkungan yang aman dan nyaman. Kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Beribadah dengan istiqomah dan khusu’. Menjalin hubungan antar anggota masyarakat sebagai suatu komunitas masyarakat madani yang baldatun thoyyibatun Warabbun Ghofuur.
Kehidupan yang menentramkan tentulah tidak terlepas dari kinerja pemimpin yang sedang menjalankan tugas serta menjalankan amanah (penguasa). Pemimpin yang mengayomi masyarakat dengan sepenuh hati. Pemimpin yang mencintai rakyatnya dan rakyat juga mencintai pemimpinnya. Ada kerjasama yang bagus antara yang memimpin dan yang dipimpin. Tidak ada prasangka buruk dan adu domba, semua berjalan dan bekerja sesuai dengan posisinya masing-masing.
Warga atau rakyat juga tunduk dan patuh kepada aturan yang sudah dibuat oleh ulil amri. Ada kesadaran bersama bahwa semuanya demi kebaikan, saling menguntungkan. Tentunya ketika pemimpin juga melaksanakan aturan yang sudah dibuatnya. Tidak ada pilih kasih, segala yang telah ditetapkan akan diimplementasikan secara adil untuk semua.
Pemimpin yang baik adalah yang benar-benar mengayomi, ngemong, adil, dan amanah terhadap tanggung jawabnya. Allah berfirman dalam Al Qur’an, “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh Allah maha mendengar, maha melihat.” (QS An Nisa/4: 58)
Ketika kita belajar kepada pemimpin Islam pada masa Khalifatur Rasyidin, Para khalifah menjabat bukan untuk mencari kekayaan, harta benda ataupun ketenaran saja. Khalifah pada zaman itu betul-betul mengayomi masyarakat dan membela Islam.
Jabatan yang diemban adalah tanggung jawab yang akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak, sehingga jiwanya berusaha tetap lurus, tidak menginginkan hal-hal yang duniawi materialistik semata. Tidak memperkaya diri, apalagi terlibat dalam korupsi, kolusi dan nepotisme.
Apakah cita-cita mempunyai pemimipin yang amanah terlalu melangit ketika sistem seperti sudah menghalalkan korupsi dengan jenis penggelembungan anggaran, mark up atau apapun namanya, diupayakan agar bukan dinamakan korupsi tapi itu adalah jenis korupsi? Untuk menjawabnya tentunya harus melibatkan perasaan dari hati yang paling dalam. Bukankah itu adalah keinginan bersama yang sebenarnya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Hari makin dekat dekat dengan pemilu. Para Calon Legislatif (Caleg) dan tim sukses masing-masing paslon tentunya makin sibuk mempersiapkan diri dengan berbagai macam kegiatan. Memasang poster dan baliho, rajin silaturrahim, rajin sedekah, rajin berbuat baik terhadap sesama manusia, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Tugas masyarakat kita bersama sebagai elemen bangsa yang akan memilih calon pemimpin. Tentunya memilih yang amanah, yang adil dan betul-betul tanggung jawab. Tidak hanya tanggung jawab di dunia, tapi juga siap bertanggung jawab di akhirat nanti, di hadapan sang khaliq, Raja dunia dan Raja akhirat. Ketika tidak bisa mempertanggung jawabkan maka resikonya adalah menerima azab Allah, yakni dilemparkan ke dalam siksa neraka.
Masyarakat makin cerdas dengan bertanya, kenapa hanya ketika mau ada pemilu saja seseorang berbuat baik dengan rajin tersenyum, rajin berkunjung, rajin sedekah, rajin bagi kaos dan beramal baik kepada yang lain? Ketika pemilu usai, usai juga perbuatan baiknya? Ini adalah tugas bersama. Ini adalah suap terselubung, suap dari calon pimpinan kepada rakyat, karena ada pamrih dan embel-embel menginginkan untuk dipilih pada hari-H pemilu. Tapi saya rasa tidak semua caleg berbuat demikian, caleg yang berbuat baik terus juga banyak, yang beramal shaleh tidak hanya ketika menjelang pemilu. Calon yang seperti itulah yang perlu kita pilih. Semoga pemimpin kita kelak seperti pemimpin zaman khalifaturrasyidin.
Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada pemimpin yang adil. Dalam Kitab Riyadhus sholihin karya Imam Nawawi disebutkan hadits dari Abu Hurairah RA, dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda: “Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu Pemimpin yang adil, Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala, seseorang yang hatinya senantiasa digantungkan (dipertautkan) dengan masjid, Dua orang saling mencintai karena Allah yang keduanya berkumpul dan berpisah karenaNya, seorang laki-laki yang ketika diajak oleh seorang wanita bangsawan yang cantik lalu ia menjawab: ”Sesungguhnya saya takut kepada Allah,” seseorang yang mengeluarkan sedekah sedang ia merahasiakannya, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya, dan seseorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi sampai meneteskan air mata.” (HR Bukhari dan Muslim).
Menjadi pemimpin sejati tidak takut miskin, tetapi takut akan ancaman Allah ketika tidak bisa mempertanggung jawabkannya di akhirat kelak. Saran dan nasehat dari rakyat juga mutlak diperlukan untuk perbaikan bersama.
Salinglah menasehati dalam perkara kebenaran dan peribadatan. Saling tolong dalam ketakwaan bukan kerjasama dalam kejahatan dan kedzaliman. Bismillah, semoga pemimpin kita dapat mengemban amanah dan dapat berlaku adil.
Kontributor : Agus Triawan, M.Pd (Mudir Pondok Pesantren Daarul Falaah Muhammadiyah Banjarnegara)
Editor : Dhimas