Konflik agraria di Indonesia tentu bukan cerita baru, tangisan hingga amarah perlawanan adalah hal yang jamak kita temukan di berbagai berita. Konflik agraria adalah lagu lama, konflik ini merupakan problem yang terus terulang hingga saat ini, adanya konflik ini mencerminkan bahwa ketimpangan sosial nyaris mengakar, seakan tidak ada kepedulian dari Negara untuk masyarakat agar mereka dapat memanfaatkan lahan dengan tenang.
Persoalan tentang tanah tidak hanya kita temui di satu atau dua tempat, namun bisa kita temukan masyarakat dengan tangan kosong mempertahankan lahannya dari orang yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri, mirisnya konflik serupa nyaris ada di seluruh penjuru Indonesia.
Ironisnya, konflik ini terjadi bukan karena masyarakat ingin untuk menguasai tanah milik orang lain, tapi justru karena mereka berusaha untuk mempertahankan tanah milik mereka sendiri yang sudah mereka rawat dan mereka jaga secara turun temurun. Contoh yang bisa kita lihat ada di daerah Kendeng dan Papua, lahan-lahan produktif yang biasa digunakan oleh Masyarakat setempat sebagai sumber kehidupan dan kelestarian alam justru diincar oleh pemerintah untuk kepentingan tambang atau Perkebunan.
Penolakan yang dilakukan oleh Masyarakat lokal justru dibalas dengan tekanan, intimidasi, bahkan penangkapan. Yang lebih menyakitkan, suara dari Masyarakat sering tidak terdengar. Media mainstream justru lebih banyak mengulas tentang kemajuan investasi dibandingkan kondisi Masyarakat yang terkena dampak negatifnya. Aparatur negara yang seharusnya bisa menjadi tameng dan membantu Masyarakat juga justru lebih cepat mengamankan mesin-mesin berat dibandingkan melindungi hak-hak warga yang ingin bercocok tanam di tanahnya sendiri. Menyedihkan sekali, mereka berusaha mempertahankan hak mereka tetapi dituduh mengahambat pembangungan dan dianggap melawan negara.
Di Tengah konflik agraria yang erat sekali hubungannya dengan ekonomi pertanahan ini, kita patut mengapresiasi Langkah (Majelis Pemberdayaan Masyarakat) MPM PP Muhammadiyah yang mampu turun langsung mendampingi dan mengadvokasi warga. Pendampingan ini bukan hanya soal advokasi hukum, tapi tentang keberpihakan pada nilai nilai keadilan dan kemanusiaan. Muhammadiyah menunjukkan bahwa dakwah itu tidak cukup hanya di mimbar, tapi juga harus hadir di tengah konflik, memberi kekuatan bagi mereka yang lemah.
Yang patut kita tanyakan sekarang, sampai kapan negara akan membiarkan konflik agraria ini berulang? Kenapa ormas seperti Muhammadiyah justru bisa hadir dan berdiri bersama rakyat, sedangkan kehadiran negara justru terasa jarang terlihat.
Isu tentang konflik agraria ini sangat berhubungan dengan cara kita memandang tanah. Di Indonesia tanah lebih sering dianggap sebagai aset ekonomi yang bisa diuangkan, bukan sebagai ruang hidup. Jika tanah itu hanya dianggap sebagai komoditas, nilai sosial, budaya, dan ekologinya akan terpinggirkan. Hal itu tentu menjadi awal mula atau akar masalah dari konflik agraria ini terjadi.
Akar masalah yang masih tidak teratasi tentu membawa dampak yang terus menerus dirasakan, investor mudah masuk, izin konsesi mudah keluar, dan lainnya, sementara ada warga yang diminta untuk mau berkompromi padahal dari awal mereka sudah berada di posisi yang lemah dan tidak mampu melawan.
Sudah seharusnya kita melihat tanah bukan hanya sebagai aset ekonomi, tetapi juga sebagai ruang hidup yang menyatu dengan identitas, spiritual, dan kesejahteraan Masyarakat. Tanah yang sudah dijaga dan dikelola secara turun-temurun oleh masyarakat sudah seharusnya menjadi hak mereka.
Negara semestinya hadir menjadi fasilitator, melindungi rakyat yang menjaga tanah dengan keringat dan darahnya, bukan malah memihak korporasi yang mengkultuskan investasi namun tidak mementingkan alam yang lestari.
Muhammadiyah sendiri menunjukkan contoh nyata bagaimana mengelola tanah wakaf untuk pendidikan, layanan kesehatan, dan ekonomi umat. Hal ini membuktikan, tanah bisa memberi manfaat untuk banyak orang tanpa harus dikomersialkan secara sembarangan, dan bisa menjadi model keadilan agraria yang manusiawi.
Konflik agraria ini sejatinya bukan hanya soal siapa yang punya sertipikat, tapi soal siapa yang berkuasa, dan siapa yang akhirnya tidak dilindungi oleh para pejabat. Selama logika pertanahan masih berpihak pada pasar dan pemilik modal besar, maka ketimpangan akan terus terjadi.
Akankah logika kita menyadari bahwa tanah bukan hanya soal batas fisik atau legalitas, tetapi hak atas keadilan sosial yang harus kita perjuangkan bersama-sama.
Kontributor: Wangi Putri Ali, Mahasiswi Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan
Editor: Dhimas