Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banjarnegara
Jl. K.H. Ahmad Dahlan No.8, Banjarnegara, Jawa Tengah 53418

Sastra Adalah Pembentuk Karakter dan Pemikiran, Bukan Formalitas Kurikulum!

“Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan.”
Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi yang sedari awal pendiriannya memiliki konsentrasi pada dunia pendidikan. Kita pasti sudah sering mendengar bagaimana sekolah didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan dengan konsep yang menggabungkan antara pendidikan formal menggunakan meja dan kursi serta pendidikan islam yang mengedepankan adab dan keilmuan keislaman yang saat itu dapat disebut sebagai sekolah agama modern.

Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah atau disingkat MIDI merupakan eksperiman pertama Kiai Dahlan untuk membentuk sistem pendidikan yang diharapkan dapat menjadi tonggak kemajuan masyarakat islam yang waktu itu masih dalam bayang-banyang kebodohan dan tentunya penjajahan kolonialisme. Pada tahun 1911 di bulan Desember tanggal 1 MIDI didirikan Kiai Dahlan dengan sistem menyerupai Barat (Belanda) yang dimaksudkan untuk mendinamiskan pendidikan Islam atau bahkan Kiai Dahlan berani meminjam model Klasikal, melakukan integrasi ilmu-ilmu sekuler dan ilmu agama dalam satu ruang pendidikan.

Saat ini kita patut berbangga dengan banyaknya sekolah Muhammadiyah, jika kita merujuk kepada data yang disajikan di laman Dikdasmen PP Muhammadiyah , akan tertera 3334 sekolah yang terdiri dari 1094 SD, 1128 SMP, 558 SMA dan 554 SMK yang tersebar di 34 Propinsi di Indonesia[1]. Jumlah tersebut tentunya masih akan bertambah dari masa ke masa, apalagi dengan potensi dibukanya pendidikan Muhammadiyah di dunia internasional.

Sayangnya melalui pendidikan Muhammadiyah yang begitu luas dan besar kita tidak pernah dikenalkan dengan karya sastra yang dibuat oleh sastrawan Muhammadiyah, paling banter “Tenggalamnya Kapal Van Der Wijk” dari Buya Hamka yang masyur seantero negeri, kita tidak pernah dikenalkan dengan “Pasar” dari Kuntowijoyo, Puisi-Puisi Abdul Hadi W.M, atau cerpen-cerpen dari Mohammad Diponegoro yang dikenal sebagai Insinyur cerpen oleh masyarakat sastra di tahun 70an. Padahal di dalamnya memiliki banyak pesan-pesan kehidupan yang mampu menambah daya nalar dan kritisme.

Fungsi Sastra dan Pendidikan Sastra   

Ada sebuah adagium mengenai sastra yang sangat terkenal di kalangan muslim yaitu kalimat yang diucapkan oleh Khalifah Umar Bin Khatab, di mana Umar mengatakan, “Ajarkan sastra pada anakmu, maka anak yang penakut bisa menjadi berani.

Kalimat di atas memang sudah sering dikutip oleh penulis sebagai sandaran bagaimana kita sebagai manusia islam juga memiliki apresiasi terhadap sebuah karya sastra. Pun dengan Buya Hamka yang pernah pula mengatakan bahwa, “Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghaluskan jiwa adalah seni dan sastra.”

Melalui dua kalimat di atas, kita menjadi sadar bahwa sastra bukan hanya tentang bacaan semata, namun keberfungsian yang sangat mendalam tentang bagaimana sastra benar-benar mampu mendidik anak-anak kita dan diri kita sendiri. Pun kita pernah mendengar bagaimana Seloroh John F. Kenedy bagaimana beliau mengungkapkan bahwa sastra mampu meluruskan arah kebijakan politik yang bengkok.  

Namun, rupanya pendidikan dan pengajaran sastra di pendidikan kita cukup miris. Jika kita merujuk kepada beberapa tulisan para kritikus sastra bahwa banyak dari mereka mengatakan bahwa sastra di sekolah hanya sebatas aktivitas menghafal, mengerjakan berbagai soal, mendengarkan ceramah dan mencatat. Padahal sastra akan menjadi efektif dalam proses pembentuk kepribadian dan akhlak jika melalui proses apresiasi. Apresiasi sastra jika dilakukan oleh seorang pembaca (murid) tentunya akan meninggalkan bekas di benaknya mengenai berbagai hal yang tidak hanya sekadar aktifitas menghafal, tetapi juga aktifitas yang melibatkan kepekaan jiwa.

Kita harus jujur melihat fakta bahwa pembelajaran bahasa dan sastra di Indonesia terutama di sekolah-sekolah seperti sekadar ”nunut” bahkan ”di-anak tirikan”. Hal ini menyebabkan mata pelajaran bahasa Indonesia yang seharusnya memiliki ”daya linuwih” dalam membentuk kepribadian, kini tak ubahnya hanya sekadar formalitas kurikulum. Pendidikan bahasa dan sastra tidak boleh menjadi pembelajaran yang kering, monoton, dan tidak diminati.

Pembelajaran di sekolah seharusnya harus lepas dari belenggu teoretis dan rutinitas menjawab soal. Pendidikan sastra yang tepat sangat berpotensi menjadi ”gua garba” bagi lahirnya generasi berhati mulia. Bukan sebaliknya menjadi produk robotik dan mesin penjawab soal UN dan LKS.[2]

Kita patut meresapi apa yang disampaikan sastrawan kenamaan yang sekaligus sebagai pendidik, yaitu Sapardi Joko Damono, beliau dalam buku Sastra dan Pendidikan (2021:7)[3] mengatakan bahwa jika guru di sekolah mampu meyakinkan siswa bahwa aktifitas mengarang sama menyenangkannya dengan menggambar dan menyanyi maka murid tidak akan memiliki prasangka bahwa kegiatan bersastra adalah kegiatan yang pelik. Dengan demikian proses pembelajaran penulisan kreatif pada siswa dapat membantu pengajaran Bahasa Indonesia. Jika kebiasaan menulis atau mengarang itu meningkat, diharapkan aktifitas membacapun mengalami peningkatan, karena siapapun yang mencintai menulis, dia akan sangat membutuhkan bacaan. Jadi bagaimana jika pendekatan sastra sebagai seni mulai diberlakukan di sekolah?

Kritik dan anjuran di atas tentunya sebuah usulan baik agar sastra di sekolah bukan hanya sekadar menghafal judul sastra, nama pengarang dan periodesasi waktu karangan sastra itu. Namun, juga bagaimana pendidikan sastra di sekolah di tekankan kepada apresiasi yang mewajibkan siswa untuk membaca karya sastra bukan menghafal identitas karya sastra semata. Apalagi saat ini dengan adanya kurikulum merdeka yang digagas oleh Nadiem Makarim justru memberikan kelenturan yang memerdekakan khususnya pada pembelajaran sastra di sekolah.

Selain itu dalam wacana penulisan sastra baik itu dalam bentuk bait-bait sajak, cerita pendek, cerita bergambar bahkan cerita panjang semacam novel, maka kita perlu selayaknya memberikan ruang tersendiri untuk karya-karya yang mungkin masih tersimpan oleh tangan-tangan hebat pelajar, simpatisan atau kader Muhammadiyah itu sendiri.

Laman layarmu.id sebagai media resmi Pimpinan Daerah Muhammadiyah
PDM) Banjarnegara sepertinya wajib memberikan fasilitas berupa kolom guna memberikan ruang bagi para penulis sastra di Banjarnegara. Terima kasih

Kontributor : Budi Hastono, S.Pd (Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhamamdiyah Surakarta)

Editor : Dhimas


[1] https://dikdasmenppmuhammadiyah.org/dapodikmu-jumlah-sekolah/ diakses 26 Oktober 2023

[2] M. Hayanto. Menelaah Pembelajaran Sastra yang (Kembali) Belajar Merdeka di Era Merdeka. Konefernsi Ilmiah Pendidikan Universitas Pekalongan 2020. Proceeding

[3] Sapardi Djoko Damono, 2021. Sastra dan Pendidikan, Pabrik Tulisan: Yogyakarta

Share the Post:
Related Posts