Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banjarnegara
Jl. K.H. Ahmad Dahlan No.8, Banjarnegara, Jawa Tengah 53418

Sampah Makanan : Rezeki yang Disia-siakan

Sobat layarmu yang kini tengah khusyuk membaca tulisan ini, pastinya sedang menikmati rezeki penglihatan. Gawai yang digunakan untuk mengakses tulisan ini tentunya tersambung dengan jaringan internet. Dan yang tidak kalah penting, ada semacam dorongan yang dimiliki oleh sobat layarmu yang budiman untuk membaca tulisan sederhana ini. Tiga contoh yang baru saja saya sebutkan dapat saya kategorikan sebagai contoh rezeki. Satu lagi jenis rezeki yang tiap hari kita nikmati, namun tak jarang kita sia-siakan, tidak lain dan tidak bukan adalah rezeki makanan.

Surono Danu, seorang petani asal Lampung keturunan Jawa, dalam program KickAndi berujar, “Ada satu pesan untuk semuanya. Harga satu butir nasi, orang jawa mengatakan ‘rego sak upo sego’. Apabila kita menyisakan satu butir nasi dalam satu piring, itu sama artinya kita menyisakan satu beras. Satu gram beras itu 50 butir. Satu kilo 50.000 butir. Apabila penduduk Indonesia menyisakan satu butir, makan nasi 200 juta, sama saja 4 ton sekali makan beras dibuang. Dua kali makan 8 ton. Satu bulan 240 ton. Saya sering meratap, melihat anak-anak katanya milenial, banyak yang keluarga yang tidak mampu, tapi anak-anak muda, banyak saya lihat makan di kedai apa di warung makan atau di rumah makan, menyisakan setengah piring.”

Diakui atau tidak, tak jarang kita menyia-nyiakan rezeki makanan yang sudah kita dapatkan dengan cara tidak menghabiskan makanan tersebut, padahal masih layak untuk dimakan, tindakan ini disebut dengan food waste. Seringkali kita juga tidak memanfaatkan seluruh bahan baku untuk kita jadikan masakan, sehingga juga akan tersisa bahan mentah yang terbuang, perilaku ini dinamakan food loss. Oleh karena itu, sampah makanan diistilahkan sebagai food loss and waste (FLW).

Data The Economics Intelligence Unit (2021), Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara produsen sampah makanan (food loss and waste, FLW) terbanyak di dunia. Sedangkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2021) menyatakan, sampah di Indonesia bisa mencapai 30,9 juta ton/tahun (39,81% di antaranya merupakan sampah makanan). Rata-rata setiap penduduk Indonesia membuang sekitar 300 kilogram makanan per tahunnya. Ironisnya di saat begitu banyak makanan yang dibuang, masih banyak penduduk Indonesia yang kelaparan. Sampah pangan juga berkontribusi terhadap gas rumah kaca atau GRK, berupa karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) yang dapat memanaskan planet Bumi dan mengurangi nutrisi pada tumbuhan.

Sampah makanan ini menimbulkan banyak efek negatif, baik secara ekologi (lingkungan) maupun secara ekonomi. Setengah dari produksi buah dan sayuran di dunia terbuang sia-sia. Sebanyak 8% gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan pemanasan global (global warming) di bumi disebabkan oleh sampah makanan. Dengan mengeliminasi (mengurangi) sampah makanan di dunia, dapat mengurangi produksi CO2 sebanyak 4,4 miliar ton per tahun. Itu setara dengan mengurangi 1 dari 4 mobil di jalanan (25%).

Secara ekonomi, membuang makanan sama artinya membuang uang. Riset yang telah dilakukan oleh Kompas menunjukkan bahwa makanan yang masih layak konsumsi namun menjadi sampah jika dikalkulasi, memiliki nilai nominal yang tidak sedikit. Rata-rata setiap orang Indonesia melakukan pemborosan makanan sebesar Rp 2,1 juta/tahun. Sementara manakala ditotal untuk 199 kabupaten/kota, nilai sampah makanan mencapai Rp 330,71 tiriliun. Sungguh angka yang mencengangkan.

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa tumpukan sampah makanan di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Tentunya ini amat sangat ironis, mengingat Badan Pangan PBB (FAO) pada 16 Oktober 2022 memaparkan fakta bahwa sebanyak 3,1 miliar orang (setara dengan 40% populasi dunia) tidak mampu membeli makanan sehat. Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2021, jumlah sampah makanan di Indonesia menyentuh angka 115-184 kilogram per orang per tahun. Jika diuangkan, sampah makanan di Indonesia memiliki nilai yang fantastis, yaitu setara dengan Rp 213-551 triliun. Uang sebanyak itu bisa memberi makan 61-125 juta orang di Indonesia. Sedangkan dari aspek ekologi, sampah sebanyak itu menghasilkan emisi karbon yang menyentuh angka 1.702,9 ekuivalen karbon dioksida.

Merujuk laman SIPSN (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), data komposisi sampah berdasarkan jenis sampah secara nasional menunjukkan bahwa sisa makanan menempati peringkat pertama dengan komposisi 41,7%.

Membuang makanan yang masih layak dikonsumsi, sama artinya tidak mensyukuri rezeki dan nikmat yang telah Allah berikan. Bahkan perilaku ini bisa tergolong sebagai kufur nikmat. Perilaku kufur nikmat ini bahkan terus terjadi ketika bulan Ramadhan, yang sebentar lagi akan kita masuki pada Senin, 11 Maret 2024 M berdasarkan Hisab Hakiki yang telah dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Di bulan Ramadhan akan dengan sangat mudah kita jumpai banyak makanan yang disajikan, baik itu sedekah di masjid-masjid maupun yang diperjualbelikan di pasar-pasar.

Saking banyaknya makanan, seringkali malah menjadi “tidak berharga”. Banyak sampah makanan yang timbul dari aktivitas sahur dan berbuka, terlebih dalam acara buka bersama yang banyak diselenggarakan selama bulan Ramadhan. Ini bisa terjadi karena makanan yang dibuat/dipesan tidak sesuai dengan jumlah orang yang hadir.

Selain dari sahur dan buka bersama, kita terbiasa membeli banyak makanan untuk takjil berbuka puasa. Kita sering impulsif (berlebihan) membeli aneka kudapan, mulai dari makanan berat, minuman, gorengan, dan lain-lain, yang ternyata tidak semua kita habiskan. Masih bagus makanan yang tidak kita habiskan itu kita sedekahkan, yang miris adalah makanan itu kita buang begitu saja. Itulah salah satu sumber sampah makanan masyarakat Indonesia, yang ironisnya datang dari muslim yang dalam ajarannya melarang makan dan minum berlebihan, melakukan aktivitas yang mubadzir, serta menganjurkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Cara menghindari sampah makanan (food waste) bulan Ramadhan:

  1. Perkirakan porsi ketika memasak
  2. Rencanakan menu selama Ramadhan
  3. Buat daftar belanja
  4. Simpan atau bagikan makanan kepada orang lain
  5. Ubah food waste menjadi kompos

Sebagai organisasi modern, kiranya Muhammadiyah perlu menjadi pelopor pencegahan dan pengendalian sampah makanan. Muhammadiyah dapat mengonsolidasikan UPP yang dimiliki, misalnya Majelis Lingkungan Hidup (MLH), AUM, maupun ortom-ortom yang ada, khususnya yang memiliki bidang yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Muhammadiyah dapat menyosialisasikan pentingnya mencegah timbulnya sampah makanan, sekaligus penanganannya ketika sampah makanan mudah ditemukan dalam keseharian.

Akhir kata, di momen jelang Ramadhan ini, menjadi awal muhasabah kita bersama untuk mensyukuri nikmat makan yang telah Allah berikan, dengan cara yang sederhana, yaitu menghabiskan makanan. Aktivitas seperti Makan mungkin tampak remeh, karena tiap hari manusia melakukannya, tapi jangan sampai kita di-azab lantaran kufur nikmat makan yang telah Allah berikan.  

Oleh: Muhammad Afriansyah  (Guru IPA di PP Modern Daarul Falaah Muhammadiyah Merden)

Editor : Dhimas

Share the Post:
Related Posts