MOHAMAD DJAZMAN AL-KINDI
Ideolog Cicit Kyai Dahlan yang Berpikiran dan Bergerak Maju
Oleh: Muhammad Afriansyah
Saya juga pernah mengemukakan pada Pak Amirudin Siregar Ketua Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah (PWM) DKI Jakarta. “Apa tidak mungkin kita sewa satu kamar di Hotel
Mandarin kemudian kita dirikan Muhammadiyah Ranting Hotel Mandarin?” Ini merupakan
contoh saja menghadapi turis-turis, setidak-tidaknya mempopulerkan persyarikatan Muhammadiyah di situ.
[Mohamad Djazman Al-Kindi; Ilmu Amaliah Amal Ilmiah, Bagian Pertama, Bab III
Muhammadiyah sebagai Gerakan Amal dan Pemikiran, halaman 58]
Latar belakang studinya adalah Sastra dan Kebudayaan serta Geografi UGM, tapi ia juga berbicara sejarah, pemikiran Islam, pendidikan, manajemen, perkaderan, Muhammadiyah, keorganisasian, politik kebangsaan, komunis, katolik, perubahan sosial, orientalis, ateisme, konsili Vatikan, dan yang tak kalah menarik, ia juga berbicara tentang anak muda dan peran strategisnya! Sosok yang komplit ini pernah dimiliki oleh Muhammadiyah. Kini ia sudah berpulang dengan meninggalkan banyak warisan berharga, tapi sepertinya warisan yang ia tinggalkan tidak menarik untuk diperebutkan.
Ia yang merupakan cicit dari Kyai Dahlan, menjelma menjadi seorang ideolog yang berpikiran dan berwawasan luas melampaui latar belakang akademiknya. Pencetus dan pemimpin pertama BPK (kini MPKSDI, Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani) menelurkan produk perkaderan berupa wahana perkaderan lanjutan di tingkat mahasiswa dari Mu’allimin/Mu’allimat, yaitu Pondok Hajjah Nuriyyah Shabran di Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Mohamad Djazman Al-Kindi, nama yang tidak asing lagi bagi segenap kader dan pimpinan persyarikatan, juga bagi setiap civitas akademika UMS, minimal dikenal sebagai salah satu gedung pertemuan megah di area kampus 1 UMS, sebelah barat Masjid Fadlurrohman, Auditorium Moh. Djazman. Beliau sebagai rektor pertama UMS, telah meletakkan banyak sekali dasar-dasar pengembangan perguruan tinggi Muhammadiyah dari segi manajemen akademik, pengembangan kemahasiswaan, mewujudkan wahana pencetak kader-kader persyarikatan, dll.
Dalam salah satu tulisannya di Bab III berjudul Muhammadiyah sebagai Gerakan Amal dan Pemikiran, ia mengkritik adanya fenomena di kalangan kita yang menciptakan polarisasi antara man of think dan man of action. Dalam hal ini Mohamad Djazman telah menjadi keduanya, pemikir dan penggerak bagi persyarikatan Muhammadiyah. Sebagai penggerak, ia adalah pencetus sekaligus pimpinan pertama BPK sebagai wadah untuk mensistematisasikan perkaderan Muhammadiyah secara nasional.
Selain sistem perkaderan, perhatiannya terhadap dunia pendidikan tinggi juga diwujudkan dalam gagasannya dalam pembentukan Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan (Diktilitbang). Tidak cukup di situ wujud perhatiannya bagi perguruan tinggi Muhammadiyah, Mohamad Djazman terjun langsung merintis sekaligus memimpin salah satu perguruan tinggi Muhammadiyah terbesar di Indonesia sebagai rektornya yang pertama, UMS, yang merupakan gabungan dari IKIP Muhammadiyah dan Intitut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM). Sehingga, namanya diabadikan sebagai nama Auditorium Moh. Djazman. Fakultas Geografi UMS pun disebut-sebut sebagai peninggalannya yang fenomenal, sebagi bentuk dedikasi dan tanggung jawab akademisnya.
Singkatnya, sebagai penggerak, kiprah dan kontribusinya sudah tak layak lagi dipertanyakan. Lantas bagaimana dengan perannya sebagai seorang pemikir (man of think)? Inilah yang harus kita gali dan kita jaga nyala api perjuangannya. Tak banyak yang benar-benar memahami bahwa ia adalah pemikir ulung yang produk pemikirannya tersebar dalam berbagai tempat dan wujud. Selain UMS, MPK, dan Majelis Diktilitbang sebagai produk pemikiran yang berupa wahana, ia juga menelurkan produk pemikirannya dalam bentuk wacana yang tersebar di berbagai media dan tema pembahasan.
Luas dan berpikiran terbuka, namun tetap teguh pada prinsip dan ideologi yang dipegang. Demikian kesan pertama saya ketika bercengkerama dengan beliau lewat wacana-wacana yang diproduksi. Berbagai tema nyaris tidak luput dari jangakuan analisisnya, meliputi sejarah, pemikiran Islam, pendidikan, manajemen, perkaderan, Muhammadiyah, keorganisasian, politik kebangsaan, komunis, katolik, perubahan sosial, orientalis, ateisme, konsili Vatikan, serta mahasiswa dan peran strategisnya.
Lebih dari itu, produk pemikirannya yang berupa wacana yang masih tersebar dan belum terkodifikasi menjadikan kita cukup kewalahan mengenal dan mengarungi dunianya. Agus Sumiyanto, salah satu orang terdekat sekaligus kader beliau sudah sejak lama diamanahi untuk menuliskan tentang Mohamad Djazman, namun baru setelah lebih 20 tahun, amanah tersebut tuntas ditunaikan dengan hadirnya buku Ilmu Amaliah Amal Ilmiah, Muhammadiyah sebagai Gerakan Ilmu dan Amal, terbitan Suara Muhammadiyah, sebagai buku yang memuat tulisan-tulisan beliau yang berhasil dikumpulkan oleh Tim Abdi Djazman (Djazman Research Institute), sekelompok kader-kader IMM UMS yang terdiri dari kader-kader IMM Cabang Kota Surakarta dan IMM Cabang Sukoharjo.
Tim serupa sempat terwacanakan di kalangan kader-kader beliau terutama yang berkarier di UMS, untuk mengenang sekaligus tetap menjaga nyala semangatnya. Tercatat selain Agus Sumiyanto, ada Djalal Fuadi, salah satu dosen Program Studi Pendidikan Akuntansi, juga merupakan kader beliau. Namun ternyata sampai buku ini terbit, tim itu tidak pernah terwujud.
Terdiri dari 40 tulisan dengan beragam tema pembahasan, kader tulen yang diamanahi PP Muhammadiyah sebagai bidan kelahiran IPM dan IMM ini, mencurahkan segenap gagasan-gagasannya yang brilian. Keempat puluh tulisan tersebut dibagi menjadi 3 bagian yaitu Bagian Pertama Muhammadiyah sebagai Gerakan Ilmu dan Amal; Bagian Kedua Kaderisasi Muhammadiyah: Prospek dan Pembaharuan; dan Bagian Ketiga Islam dan Perubahan Sosial. Agus Sumiyano yang juga editor buku ini dalam Pengantar Editor (halaman xii) menyatakan “Buku ini memang tidak mencantumkan daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah. Dengan demikian, daftar pustaka yang kami cantumkan di belakang merupakan judul tulisan Mohamad Djazman dan dari mana sumber tulisan itu kami peroleh.”
Haedar Nashir dalam epilog buku ini (Epilog: Mengenal Pak Djazman Al-Kindi, halaman 252) mengatakan bahwa pak Djazman terbentuk dalam dua proses, yaitu pertama, kultural sosiologis. Latar belakang keluarga dan masa kecilnya di Kauman, membuatnya kental dengan nuansa dan aroma Muhammadiyah sedari dini. Modal sosiologis ini yang tidak dimiliki oleh banyak tokoh lain, yang memang lahir dan besar di luar Kauman, demikian tulis Haedar Nashir.
Kedua, struktural organisatoris. Kiprahnya di persyarikatan sedari muda belia semakin memantapkan ideologi Muhammadiyah yang dipegangnya secara teguh. Karier organisasi sebagai bidan IPM & IMM (sekaligus menjadi ketua DPP IMM yang pertama), Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, penggagas sekaligus Ketua BPK pertama, Rektor UMS pertama, penggagas Majelis Diktilitbang, serta “tinggalan”nya yang fenomenal adalah UMS yang kini memiliki 30.000 an lebih mahasiswa per tahun ini.
Sebagai orang yang berpikiran maju dan terbuka, beliau tidak ragu untuk bersentuhan dengan pemikiran “non-Islam” dan “sekuler”, macam Julien Benda, Nurcholis Madjid, Sir Robert Thompon, Max Weber, beberapa Paus sebagai pimpinan Gereja Vatikan, dan lain-lain.
Buku ini menyajikan segelintir gagasan fenomenal di banyak disiplin ilmu, menggambarkan betapa perhatiannya pada khazanah ilmu pengetahuan duniawi dan ukhrawi sangat luar biasa. Sampai di sini kita sudah membuktikan bahwa apa yang dicita-citakan oleh beliau untuk menghapus stigma polarisasi antara man of think dan man of action sebenarnya sudah terlaksana sekaligus mewujud dalam dirinya sendiri, seorang pemikir sekaligus penggerak, meminjam istilah Anhar Gonggong. Maka tinggal bagaimana peran kita untuk melanjutkan kembali kiprah beliau sekaligus melahirkan kembali Djazman-Djazman selanjutnya.
Gagasan-gagasan besar yang brilian nan fenomenal dari cicit Kyai Dahlan ini agaknya bisa menjadi tonggak awal kodifikasi gagasan-gagasan para tokoh persyarikatan lainnya sebagai media pembelajaran dan penggalian ide-ide masa lampau untuk mengembalikan arah gerak persyarikatan, pedoman etos kerja kepemimpinan dan perjuangan dalam Muhammadiyah, pun bagi semua ortom dan AUM-nya.
Terkhusus bagi segenap kader IMM di penjuru tanah air, ideolog yang satu ini menitipkan kawah intelektual persyarikatan ini lengkap dengan warisan tulisannya yang terdapat pada Bab IX Refleksi dan Masa Depan IMM, berjudul Mengislamkan Umat Islam Kembali: Refleksi Milad IMM VIII; Bukan Organisasi Hura-Hura: Refleksi Milad IMM 1988; IMM dan Masa Depan: Sebuah Refleksi; dan Peranan Mahasiswa dalam Menegakkan Nilai-Nilai Kemanusiaan. Singkat namun mendalam dan sangat reflektif, demikian harapan para bidan IMM di masa-masa awal kelahirannya.
Amat besar harapan segenap kalangan persyarikatan, terlebih Tim Abdi Djazman (Djazman Research Institute) sebagai tim yang menghimpun naskah beliau yang tercecer dan tersebar di berbagai tempat, agar karya ini menjadi suplemen pembakar api semangat perjuangan bagi segenap warga persyarikatan, terkhusus bagi kader dan pimpinannya, sebagai ujung tombak perjuangan. Sehingga kelak lahir Djazman-Djazman selanjutnya yang lebih berpikiran dan bergerak maju, membawa dan membumikan nilai-nilai Islam yang berkemajuan, sebagai pelanjut misi Rasulullah yaitu rahmat bagi sekalian alam.
Billahi fii sabilil haq fastabiqul khairat