Oleh: Budi Hastono
Di kalangan aktivis Muhammadiyah nama K.H Mas Mansur pasti sudah tidak asing, karena jika di sekolah-sekolah Muhammadiyah atau di Amal Usaha sebagian besar pasti memajang potret beliau sebagai deretan nama-nama ketua umum organisasi Muhammadiyah. Jika yang mendengar nama ini adalah aktivis organisasi Muhammadiyah paling tidak jika mereka telah melaksanakan pendidikan perkaderan, nama beliau pasti muncul ketika berada pada materi Kemuhammadiyahan, dan kita juga patut berbangga karena beliau juga menjadi bagian dari aktivis Muhammadiyah yang diangkat menjadi pahlawan nasional.
Namun seringkali kita sulit untuk membedakan dua Mansur di Muhammadiyah, karena kita akan dikenalkan Mansur dari Barat dan Mansur dari Timur, dua Mansur yang di era 1930-an ke atas memang memberi warna di tubuh Muhammadiyah. Mansur dari Barat adalah Buya A.R Mansur yang berasal dari Sumatera Barat, sedang Mansur dari Timur adalah Kiai Haji Mas Mansur dari Surabaya Jawa Timur yang mana keduanya merupakan tokoh puncak di tubuh Muhammadiyah, keduanya pernah menjadi bagian dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan tentunya keduanya sangat terkenal di persyarikatan Muhammadiyah.
Yunus Anis (1968) menggambarkan bahwa Kiai Haji Mas Mansur merupakan pribadi yang memiliki cara-caranya sendiri yang khas dalam menggerakan organisasi. Yunus Anis melanjutkan bahwa beliau K.H Mas Mansur juga memiliki kepribadian yang halus budi, rajin dan tertib, tutur bahasa yang halus serta tindakan yang baik budi, tidak lupa gambaran kesantrian beliau melalui berpeci dan bersarung karena dijelaskan bahwa K.H Mas Mansur merupakan santri dari pondok Sidoresmo dan Pesantren Demangan, Madura pada tahun 1921. Dari tuturan tersebut tentunya kita sebagai kader masa kini patut menjadikan beliau teladan tentang sikap hidup dan juga perangai yang halus budi dan baik.
K.H Mas Mansur bergabung dengan Muhammadiyah di tahun 1937 saat pergelaran Kongres Muhammadiyah ke-26 walau perjumpaan dengan Muhammadiyah sudah beliau mulai dari tahun 1915 sepulang dari Mesir dan beliau bertemu dengan Kiai Dahlan dan beliau terpukau dengan banyak penjelasan keagamaan yang cermat dan mencerahkan dari Kiai Dahlan.
Pada tahun 1937-1943 beliau menjadi ketua Umum Muhammadiyah yang nantinya banyak memproduksi pemikiran-pemikiran penting di dalam tubuh Muhammadiyah seperti berdirinya Majelis Tarjih pada tahun 1927, saat itu dikatakan bahwa Majelis tersebut adalah prakarsa dari beliau, dan membentuk program yang dikenal dengan langkah dua belas. (Yunus Anis, 1968).
K.H Mas Mansur juga menjadi salah satu aktivis Muhammadiyah yang memiliki kepekaan di dunia politik, terutama pada awal zaman perjuangan menuju kemerdekaan. Dituliskan dalam buku, Muhamamdiyah 100 tahun Menyinari Negeri (hlm 75-76), bahwa Mas Mansur merupakan satu dari 68 anggota BPUPKI yang dibentuk 9 April 1945. Bahkan dituturkan bahwa beliau di tahun 1941 sangat memungkinkan untuk terpilih menjadi Majelis Rakyat jika beliau berkenan, beliau juga pernah duduk menjadi penasihat Partai Islam Indonesia (PII) yang mana beliau juga merupakan salah satu pendorong lahirnya partai tersebut.
Selain manusia politik K.H Mas Mansur juga merupakan manusia literer yang mana pada tahun 1920 saat beliau berada di Surabaya, beliau telah menerbitkan media komunikasi antara lain Le Jinem (1920), Suara Santri (1921), serta Journal Etude dan Proprietair. Nama-nama majalah tersebut, selain Suara Santri seolah-olah disajikan dalam bahasa Perancis, padahal majalah tersebut berbahasa Jawa dan ditulis menggunakan aksara arab melayu (pegon). Pengaruh bahasa Perancis ini barangkali dibawa oleh K.H. Mas Mansur dari Mesir, di mana bahasa Perancis juga digunakan di Mesir karena negara tersebut merupakan jajahan Perancis. (100 Tahun Muhammadiyah Menyinari negeri, hlm 60). Hal ini diperkuat oleh Alm. Syafii Maarif dalam pengantar dalam buku Kiai Haji Mas Mansur Kumpulan Karangan tersebar (1968) Syafi’I menyampaikan bahwa K.H Mas Masur adalah salah satu dari tokoh puncak Muhammadiyah yang meninggalkan karya tulis, sekalipun bukan dalam format buku yang utuh.
Berkaitan dengan empat dasar yang perlu dikuatkan, hal tersebut merupakan salah satu karya tulis beliau yang terbit pada Majalah Adil No. 52 tahun ke IX pada tanggal 25 September 1941. Pada ke empat dasar yang dituliskan beliau memberikan semacam tolok ukur tentang hal-hal dasar yang perlu kita kuatkan sebagai seorang muslim.
Mungkin memang terasa sudah sangat usang, jika tulisan di tahun 1940-an dijadikan sebagai pijakan kita yang hidup di era 2000-an saat ini. Tapi menurut hemat penulis, pesan ini masih sangat relevan dan masih sangat tepat untuk kita renungkan dan menjadi bahan instropeksi sebagai seorang muslim, khususnya sebagai warga Muhammadiyah.
Oleh karenanya sudah sepatutnya orang yang memeluk agama islam harus bersyukur kepada Allah, sebab Allah telah membuka mata hatinya menuju jalan yang benar. Syukur kepada Allah banyak macam dan ragamnya. Di antaranya, kemajuan agama Islam yang perlu kita jaga dan disebarkan dimana-mana.
Sebagai tuntunan masing-masing kaum muslimin harus mempunyai empat dasar, keempatnya adalah : Kemajuan, Taqwa, Sabar dan Tawakal. Keempat dasar ini perlu sekali sebagai senjata bagi kita untuk menahan desakan-desakan gelombang dunia dalam perjalanan hidup kita ;
- Kita harus maju, karena apabila kita tidak maju, berarti kita mundur. Mundur artinya ketinggalan membawa kepada kerugian.
- Agar Kemajuan kita sempurna hendaklah disandarkan kepada takwa. Dengan penuh rasa khidmat kita melangkah setapak demi setapak dengan mengharap kerelaan Allah SWT. Apabila kita sudah mempunyai rasa taqwa yang tulen, langkah tiada akan tertegun-tegun, tiada yang akan meragukan hati kita lantaran tujuan pengharapan kita senantiasa disangkutkan dengan petunjuk Tuhan tu berkeyakinan dimana saja kita berada, tentu disampingi oleh Allah.
- Kita sudah insaf akan kemajua, sudah taqwa kepada Allah tapi inipun belum sempuna kalau tiada disampingi oleh kesabaran. Sering-sering dalam usaha kita, terpaksa kita menemui rintangan-rintangan yang maha hebat sehingga apabila kita tidak mempunyai senjata kesabaran, tentu akan mudah sekali kita berputus asa. Sedang kita tahu bahwa putus asa itu adalah pedang jemawi maha tajam yang selalu memotong leher cita-cita kita.
- Walaupun kita sudah sadar, tetapi masih juga terhimpit oleh malapetaka dari seluruh jurusan, maka di masa itu keluarkanlah senjata tawakal kita. Allah SWT berfirman, “Apabila engkau telah berniat maka bertawakallah kepada Allah.”
Kita tidak boleh kehabisan senjata. Keempat dasar itu perlu kita mempunyainya dan jangan sampai terpisah dari masing-masing kaum muslimin, kita harus memeliharanya baik-baik.
Referensi
- Buku Kiai Haji Mas Mansur; Kumpulan Karangan tersebar, cetakan ke 3 terbit pada tahun 1992, diterbitkan Penerbit PT Persatuan.
- Buku 100 tahun Muhammadiyah Menyinasi Negeri, Cetakan pertama 2013 Diterbitakan Majelis Pustaka dan Informsi PP Muhammadiyah.
- Buku 95 Tahun langkah Muhammadiyah Langkah Perjuangan Muhammadiyah Himpunan Keputusan Muktamar, cetakan pertama tahun 2007, Diterbitkan Lembaga Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.
Editor : Dhimas