Gema takbir telah kita lewati, berita tentang mudik dan arus balik sudah tidak ditayangkan di layar kaca, cuti bersama telah telah berakhir. Artinya kita harus kembali menjalani rutinitas, baik itu sekolah ataupun mencari nafkah. Pastinya harus ada harapan setelah melewati Ramadan, yakni meningkatnya kualitas keimanan.
Secara bahasa ‘Idul Fitri berasal dari kata ‘id yang artinya kembali dan Fitri yang berarti suci. Secara maknawi bisa dipahami bahwa setelah menjalankan puasa Ramadan penuh satu bulan, kaum muslimin kembali kepada kesucian. Tentunya ketika puasa dan amal ibadahnya diterima Allah SWT. Dalam hadits Bukhari Muslim yang tertera dalam Risalah Ramadan disebutkan “Man shama ramadhaana iimaanan wahtisaaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi”, barang siapa yang berpuasa Ramadan dengan rasa iman dan mengharap rida Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Pertanyaannya adalah apakah puasa dan amal ibadah kita benar-benar diterima atau lulus dalam pandangan Allah? Atau jangan-jangan puasa yang kita jalani hanya sekadar menahan rasa lapar dan haus saja. Karena sembari berpuasa, juga sembari bermusuhan, suka ghibah dan menjelek-jelekkan orang, menggunjing dan memfitnah. padahal itu semua bisa merusak ibadah puasa.
Di dalam bulan Ramadan, umat muslim sudah digembleng dengan ritual religiusitas, menahan rasa lapar dan haus, menahan dan berusaha meredam kemarahan, tidak berhubungan seks dengan istri, tidak ghibah dan namimah. Itulah yang namanya puasa. Puasa yang berarti imsak, menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Ditambah lagi dengan konten bulan Ramadan yang penuh hikmah. Di samping puasa, umat muslim juga mengisi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah dibanding dengan bulan-bulan yang lain.
Selama Ramadan kaum muslimin melaksanakan salat tarawih, salat malam yang dikerjakan dalam bulan Ramadan. Dengan iman dan mengharap ridha Allah SWT, bersemangat membangun jalinan komunikasi dengan Tuhan. Di tengah-tengah perut kenyang karena habis berbuka puasa, pergi ke masjid, untuk salat tarawih dan isya berjama’ah. Ketika di masjid ada juga jalinan silaturahmi antar sesama umat beragama, bertemu satu sama lain. Saling menyapa dan bertutur kata, saling menasehati dan mengisi, ditambah lagi ada taushiyah singkat yang dikenal dengan kuliah tujuh menit (kultum). Sebagian kaum mulimin juga membawa uangnya untuk ditaruh di kotak infak sebagai investasi akhirat. Itulah sinergi ibadah habluminallah dan habluminnas. Berhubungan dengan Allah juga sekaligus berhubungan dengan sesama manusia.
Salat sunnah rawatib juga digalakkan untuk mengiringi salat fardu, dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat, sebelum zuhur, dua rakaat sesudah zuhur, dua rakaat sesudah maghrib, dua rakaat sesudah isya. Hal tersebut juga untuk menambal dan menyempurnakan salat wajib yang sudah dilaksanakan. Bagaikan sayap yang digunakan untuk terbang, bagaikan lauk yang mengiringi makan, itulah rasanya semisal melaksanakn salat sunnah rawatib. Begitu juga dengan majlis ilmu, ta’lim dan pengajian lebih semarak bila dibanding bulan yang lain. Silaturrahim dan berbagi jenis ibadah lainnya.
Syawal artinya meningkat. Meningkat dari sebelumnya. Ciri ibadah seseorang diterima oleh Allah SWT adalah orang tersebut ibadahnya juga meningkat. Seseorang tidak merasa terbebani dengan ibadah sebagai suatu kewajiban, tapi justru merasa enjoy dan menikmati ibadah tersebut.
Seyogyanya juga bermuhasabah atau berhitung-hitung diri, bercermin atas amal yang sudah dilakukan, membuat target dan goal setting dalam beraktifitas, termasuk dalam aktifitas ibadah. Sehingga waktu yang digunakan semoga bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak. Menghilangkan hasad dan iri hati sesama manusia, merasa berbahagia ketika saudara sesama muslim berbahagia dan merasa ikut bersedih ketika saudara sesama dalam keadaan berduka. Menghiburnya dan membantu sesama dengan ikhlas dan suka cita.
Berpuasa enam hari di bulan syawal disunnahkan oleh nabi, dalam hadits riwayat muslim disebutkan, “Barangsiapa berpuasa ramadan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan syawal maka seolah-olah dia berpuasa sepanjang masa atau sepanjang tahun.” Diterangkan mengenai maksud hadits ini, bahwasannya Allah SWT melipat gandakan pahala seseorang dengan sepuluh kalinya. Seseorang yang berpuasa Ramadan satu bulan penuh, dikalikan sepuluh kalinya menjadi sepuluh bulan. Puasa enam hari di bulan syawal, dikalikan sepuluh menjadi enam puluh hari. Enam puluh hari sama dengan dua bulan. Itulah puasa sepanjang tahun sepuluh bulan ditambah dua bulan jadi dua belas bulan. Subahanallah. Allah maha pengasih penyayang.
Momen meningkatkan diri setelah Ramadan lewat. Meningkatkan kualitas hubungan silaturrahim, hubungan dengan sesama manusia. Meminta dan memberi maaf, entah diminta ataupun tidak diminta. Yang lebih hebatnya lagi adalah meminta maaf walaupun dizalimi dan disakiti. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena Allah ta’ala. Memang ada sebagian manusia yang menggunakan kesempatan syawal untuk berpura-pura minta maaf tapi di hatinya masih belum memaafkan, kita memohon semoga terhindar dari penyakit hati seperti itu.
Tidaklah layak dan tidak pada tempatnya ketika syawal datang kita bergembira karena pisahnya dengan Ramadan, merasa terbebas dari kewajiban yang menyiksa. Wallahi, gak, Allah maha bijaksana, tidak akan membebani suatu kaum kecuali dengan kesanggupannya, Laa yukallifullohu nafsan illa wus’aha. Semoga kita bergembira karena bisa melewati dengan ibadah dan kepasrahan kepada Allah SWT.
Ketika syawal datang, tidak selayaknya kaum muslimin untuk menyengaja kembali berbuat maksiat. Menggunakan organ dan panca indera bukan untuk yang diridai Allah. Dalam Al-Qur’an surat Al A’raf ayat 179 disebutkan, “Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.”
Syawal bukanlah bulan balas dendam setelah terkekang di bulan Ramadan, yang biasanya tidak boleh makan dan minum, menjadi makan minum sepuasnya. Di bulan Ramadan beribadah dengan baik, di bulan syawal malah memulai maksiat, tentu bukan itu yang dikehendaki. Tapi afdalnya adalah peningkatan ibadah.
Hal yang ironis yang bisa ditemukan di mana sebagian manusia justru menghadiri arena-arena pertunjukkan musik yang memiliki unsur maksiat, semisal artis/penyanyinya menggunakan pakaian yang minim (tidak menutup aurat). Sehingga justru penonton betah melihat auarat dari artis yang diumbar auratnya. Na’uzubillah. Kemaksiatan yang terencana dan kadang tidak disadari bahwa itu adalah maksiat yang menambah catatan dosa.
Belajar dari ulul albab yang senantiasa mengingat kepada Allah SWT. Tadzkir sebagai manifestasi orang yang berakal. Dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 191 Allah menyebutkan : “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”
Dalam keadaan apapun selalu zikir dan mengingat Allah, dalam posisi berdiri, duduk atau berbaringnya. Lisannya berzikir, Subhanalloh, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Laa ilaaha illallah dan seterusnya. Hatinya untuk mentadabburi ayat-ayat kekuasaan Allah, matanya untuk melihat yang baik dan positif. Telinganya untuk mendengar lantunan ayat-ayat Allah. Baik ayat quraniyah maupun ayat kauniyah. Sadar bahwasanya semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.
Walhasil, syawal benar-benar sebagai bulan peningkatan diri. Semakin berkualitas setelah Ramadan lewat, semakin bahagia dengan ibadah tentu semakin bagus hubungan dengan sesama manusia. Semakin rajin salat jama’ah, semakin terbuka dengan ilmu-ilmu Allah, rajin menuntut ilmu, berinfak dan menyantuni orang-orang yang tidak mampu.
Begitu juga mengurangi hal-hal yang negatif, yang tidak ada gunanya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa sebagaimana tujuan orang yang berpuasa, la’allakum tattaquun. Semoga Allah senantiasa mengabulkan doa-doa kita semua. Amiin Yaa Rabbal ‘alamiin.
Kontributor : Agus Triawan, (Mudir Ponpes Daarul Falaah Merden Purwanegara Banjarnegara)
Editor : Dhimas