Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banjarnegara
Jl. K.H. Ahmad Dahlan No.8, Banjarnegara, Jawa Tengah 53418

Mengimplementasikan Dakwah Kebudayaan Muhammadiyah

Entah bagaimana awal mulanya sehingga Muhammadiyah dicurigai oleh sebagian kalangan sebagai organisasi yang agak alergi dengan aspek kebudayaan, utamanya budaya tradisional. Contoh kecil mengenai hal ini adalah munculnya sebuah video di media sosial mengenai beberapa siswa SMK Muhammadiyah di Lamongan yang sedang memainkan gamelan. Unggahan video tersebut mendapatkan beragam komentar. Ada komentar yang menyatakan dukungan, tetapi tidak sedikit komentar yang menyatakan seolah-olah Muhammadiyah mengharamkan aktivitas kesenian tradisional. Komentar semacam ini menggambarkan bahwa sebagian masyarakat mencurigai bahwa Muhammadiyah kurang ramah terhadap budaya tradisional.

Diskusi mengenai dakwah kebudayaan telah lama dilakukan di kalangan Muhammadiyah, hanya implementasinya sampai saat ini belum dilakukan secara maksimal. Masih ada kalangan internal Muhammadiyah yang mengambil jarak dengan aspek kebudayaan, terutama kebudayaan tradisional. Mengenai hal tersebut, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir dalam sebuah kesempatan mengakui bahwa banyak kalangan mencurigai Muhammadiyah anti seni dan anti budaya. Kecurigaan itu mungkin dihubungkan dengan sikap Muhammadiyah yang sejak berdiri telah berprinsip untuk bersikap kritis terhadap bercampurnya budaya terhadap ajaran agama, terutama jika budaya tersebut menyebabkan amalan keagamaan seseorang menjadi tidak murni.

Salah satu yang krusial dari hal tersebut adalah munculnya kepercayaan terhadap takhayul, yaitu kepercayaan kepada sesuatu yang hanya ada di angan-angan saja yang biasanya dikait-kaitkan dengan mahluk halus dan sejenisnya.

Muhammadiyah sebagai organisasi yang berlandaskan kemajuan dan berorientasi kepada modernisasi tentu saja tidak mentolerir hal tersebut. Banyak seni tradisi di Indonesia, utamanya kesenian di Jawa yang masih dihubung-hubungkan dengan takhayul yang berlawanan dengan semangat Muhammadiyah. Secara umum kebudayaan tradisional sering dimasukan ke dalam dikotomi yang pernah dibuat oleh Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul Religion of Java, yaitu sebagai bagian dari kelompok abangan. Di mana kaum Abangan sering dianggap sebagai oposisi biner dari santri.

Kebudayaan sebagai Media Dakwah

Pada periode sejarah tertentu, seni tradisional (Jawa) oleh salah satu partai politik digunakan untuk menghantam golongan Islam. Muhammadiyah menjadi salah satu korban dari situasi yang tidak menguntungkan tersebut. Suasana dramatis dan menegangkan yang terjadi pada tahun 1960-an telah menjadi trauma tersendiri bagi Muhammadiyah. Seni tradisi dianggap sebagai media yang mudah disusupi untuk kepentingan politik dan ideologis yang bisa merugikan Muhammadiyah.

Hal lain yang juga turut memengaruhi sikap Muhammadiyah terhadap seni tradisi adalah karena aspek ini ternyata sangat dekat dengan organisasi keagamaan lain yang dalam hal tertentu terasa bersaing dengan Muhammadiyah.

Tidak bisa dimungkiri bahwa Muhammadiyah yang telah mengklaim dirinya sebagai organisasi modern tidak ingin terlihat sebaliknya karena memanfaatkan hal-hal yang bersifat tradisional. Sebagian warga Muhammadiyah mungkin merasa bahwa biarlah hal-hal yang berbau tradisi menjadi identitas organisasi lain. Muhammadiyah fokus saja di ranah modern.

Perasaan semacam itu tidak bisa disalahkan karena sudah sejak kelahirannya organisasi ini mengusung tema berkemajuan yang menjadi salah satu simbol dari modernisasi. Impelementasi berkemajuan itu salah satunya adalah penggunaan seni atau budaya modern sebagai media dakwah, bukan budaya tradisional. Hal tersebut menjadi bukti bahwa sejatinya Muhammadiyah tidak membenci kebudayaan, namun secara umum masih terbatas pada budaya modern. Cerita tentang kepandaian Kiai Ahmad Dahlan bermain biola menjadi salah satu argumen bahwa Muhammadiyah tidak membenci seni dan kebudayaan pada umumnya.

Jika kita membuka dokumen lama Muhammadiyah, kita akan banyak disuguhi berbagai bentuk kesenian modern yang dimainkan oleh aktivis organisasi ini. Salah satunya adalah Drum band, kesenian tersebut merupakan salah satu kesenian yang sangat diakrabi oleh Muhammadiyah dari berbagai level. Drum band bahkan menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler wajib yang dilaksanakan di sekolah- sekolah Muhammadiyah. Bahkan Ekstrakurikuler Drum Band juga menjadi tolok ukur kemajuan Sekolah Muhammadiyah baik dari BA – SMA/SMK


Dinamika Dakwah


Muhammadiyah juga telah memanfaatkan elemen kebudayaan sebagai media dakwah, salah satunya dengan dibentuknya Lembaga Seni Budaya dan Olah Raga (LSBO). Namun sampai saat ini Muhammadiyah terkesan masih sangat hati-hati untuk terlibat dalam berbagai aktivitas kebudayaan tradisional. Sifat kehati-hatian itu tentu saja dapat dimaklumi mengingat anggota atau kader Muhammadiyah sangat beragam dengan pemikiran dan keyakinan yang berbeda- beda pula. Upaya Muhammadiyah menjadikan kebudayaan sebagai ladang dakwah tentu perlu diapresiasi.

Format Dakwah Kebudayaan

Manusia secara keseluruhan adalah makhluk berbudaya dan memanfaatkan berbagai produk kebudayaan untuk kepentingannya. Dakwah Muhammadiyah tentu saja bisa memanfaatkan berbagai aspek kebudayaan sebagai alatnya. Dakwah secara umum bermakna mengajak atau menyerukan kepada kebaikan. Dalam konteks Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan, dakwah dimaknai sebagai usaha menyebarluaskan dan mewujudkan ajaran Islam sehingga melahirkan perubahan ke arah yang lebih baik, unggul, dan utama dalam kehidupan pemeluknya.

Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan tentu saja memiliki konsepsi ideal mengenai masyarakat Islam yang dikehendaki. Dalam Kepribadian Muhammadiyah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat Islam yang dikehendaki adalah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yang menjalankan syariat Islam sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah/maqbulah.

Baca Juga: Harmoni dan Patriotisme: Penampilan Drumband MMB MTs Muhammadiyah Batur

Jalan menuju masyarakat Islam yang sebenarnya tentu saja sangat beragam, dengan kata lain, media dakwah untuk hal tersebut juga beragam. Muhammadiyah memiliki saluran dakwah yang cukup banyak yang disebut sebagai usaha Muhammadiyah. Mengacu kepada Anggaran Dasar Muhamadiyah, disebutkan bahwa Usaha Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan. Metode mengimplementasikan Usaha Muhammadiyah sangat beragam. Dalam Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah disebutkan, paling tidak ada 16 bentuk amal usaha, program, dan kegiatan, yang jika satu per satu dirinci akan menghasilkan puluhan bentuk teknis.

Dari keseluruhan bentuk amal usaha, program, dan kegiatan, terdapat penegasan perlunya memajukan dan memperbaharui pendidikan dan kebudayaan serta seni. Mengacu kepada hal tersebut, sejatinya Muhammadiyah tidak perlu gamang untuk memanfaatkan kebudayaan sebagai salah satu media dakwah. Saat ini yang harus segera dilakukan adalah mencari format yang tepat agar dakwah melalui jalur kebudayaan bisa segera diimple- mentasikan. Mengingat bahwa budaya memiliki akar kelokalan yang kuat, maka perlu dicarikan sebuah formula yang tepat yang tidak bertentangan dengan keyakinan dan visi – misi Muhamadiyah.

Pertama, memanfaatkan unsur kebudayaan lokal yang bersih dari takh- ayul, bid’ah, dan khurafat untuk secara langsung digunakan sebagai alat (tool) berdakwah. Muhammadiyah harus membuka diri bahwa yang disebut sebagai kebudayaan bukan sekadar slametan atau seni pertunjukan semisal wayang kulit. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, mengelempokkan objek pemajuan kebudayaan menjadi sepuluh, yaitu: tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olah raga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus.

Objek pemajuan kebudayaan di masing-masing daerah memiliki varian yang khas dan berbeda-beda. Jumlahnya tentu saja ribuan. Muhammadiyah tinggal memilih mana kira-kira objek pemajuan kebudayaan yang cocok untuk dijadikan alat berdakwah. Seni merupakan salah satu objek kebudayaan yang sangat fleksibel digunakan sebagai media dakwah. Seni wayang kulit sejak lama merupakan alat dakwah yang efektif karena unik. Dalang sebagai narator yang bersifat monolog bisa menyampaikan pesan- pesan keagamaan serta keorganisasian secara langsung.

Saat ini banyak anak muda yang melakukan inovasi seni yang bisa disesuaikan dengan pangsa pasar. Hal yang sama bisa dilakukan oleh Muhammadiyah, dengan cara merekrut para seniman untuk kepentingan dakwah Muhammadiyah.

Ludruk yang merupakan salah satu seni dengan penikmat yang masih banyak di kawasan surabaya dan sekitarnya, bisa juga dimanfaatkan untuk kepentingan yang sama. Jika sampai saat ini ludruk belum populer sebagai alat dakwah, tentu hal ini menjadi tugas Muhammadiyah untuk memanfaatkannya.

Kita mesti memahami bahwa masyarakat secara umum sangat suka dengan guyonan atau humor. Sedangkan Dai-dai Muhammadiyah kerap dikenal sebagai juru dakwah yang kaku dan tidak suka humor.

Ceramahnya dianggap membosankan. Dakwah dengan seni ludruk yang lucu dan segar diharapkan bisa menjadikan dai Muhammadiyah disenangi oleh masyarakat sehingga efektif untuk menyampaikan pesan keagamaan dan keorganisasian. Dakwah melalui seni budaya bisa dilakukan dengan cara santai, humanis, tetapi dengan tetap menyampaikan tema-tema yang serius.

Muhammadiyah dulu diidentikkan sebagai organisasi yang perkembangannya terbatas di perkotaan, namun pada saat ini basis organisasi ini sudah tersebar di berbagai tempat tanpa membedakan desa dan kota. Berbagai aspek kebudayaan yang berkategori tradisional bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah di pedesaan karena pada umumnya masyarakat setempat masih menyukainya. Sementara itu unsur kebudayaan modern bisa lebih dimanfaatkan di perkotaan, walaupun hal tersebut tidak bisa diberlakukan secara kaku.

Kedua, kita bisa mengambil inspirasi dari budayawan terkemuka Muhammadiyah, Kuntowijoyo. Dalam bukunya Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Kuntowijoyo menyatakan bahwa dikotomi budaya populer Islam santri dan abangan sudah tidak realistis lagi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa proses perubahan sosial selama beberapa puluh tahun terakhir telah menyebabkan jarak budaya antara santri dan abangan makin lama makin lenyap. Saat ini tinggal bagaimana Muhammadiyah memosisikan diri dalam melihat aspek kebudayaan tradisional, apakah masih memosisikannya sebagai sesuatu yang ada di luar, ataukah justru akan memanfaatkannya sebagai alat untuk berdakwah dengan berbagai modifikasi agar sesuai dengan visi dan misi Muhammadiyah.

Selain sebagai alat, kebudayaan juga bisa diposisikan sebagai ladang dakwah. Para penggiat kebudayaan tradisional yang belum tercerahkan dan belum membawa misi kemajuan model Muhammadiyah bisa dijadikan sasaran dakwah.

Muhammadiyah yang memiliki berbagai perangkat modern untuk mengubah format kebudayaan tradisional menjadi lebih ramah terhadap Islam, Muhammadiyah juga bisa menawarkan kerjasama dengan para penggiat kebudayaan tersebut. LSBO yang telah diberi amanah hendaknya mulai bekerja dengan lebih giat agar dakwah Muhammadiyah melalui jalur kebudayaan bisa membawa kemaslahatan yang lebih luas dan humanis.

Penulis: Prof. Dr. Purnawan Basundoro1 (Dewan Pakar Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah) 

Editor: Dhimas

  1. Putra asli Banjarnegara, dari Desa Karangsari, Punggelan. Saat ini aktif bekerja sebagai dosen di UNAIR ↩︎

Share the Post:
Related Posts