layarmu.id – Adakalanya orang tua mengkhawatirkan anaknya berlama-lama bermain di luar rumah, apalagi bagi yang tinggal di daerah perkotaan. Kekhawatiran orang tua tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, banyak ditemukan kasus penculikan anak, kenakalan anak/remaja, pelecehan seksual, bullying dan lain sebagainya. Oleh karenanya, orang tua menganjurkan anaknya untuk bermain di rumah sehingga ia merasa aman dan tenang.
Pada awalnya, bermain di rumah terasa mengasyikkan. Namun lama-lama muncul perasaan jenuh dan bete. Aktivitas yang monoton dan itu-itu saja lama-lama membuat anak tidak nyaman. Sebagaimana kita ketahui bahwa kecenderungan anak secara umum adalah bermain bebas dengan ruang yang luas. Selain itu, mereka juga membutuhkan interaksi dengan banyak teman, canda tawa atau hanya sekadar basa-basi.
Saat anak terlalu lama tinggal di rumah, lambat laun anak mengalami tekanan mental dan psikis. Kegairahannya menurun. Semangat belajarnya kendor serta anak menjadi sensitif.
Untuk menyalurkan segala rasa penat dan bosan yang menyelimuti hari-harinya, anak kerap melampiaskan pada media sosial. Kenapa? Karena anak juga membutuhkan interaksi dengan teman-teman sebayanya. Terkadang komunikasi dan interaksi dengan orang tua merasa tidak nyambung atau tidak bebas sehingga mereka merasa tidak nyaman.
Media sosial merupakan media untuk berinteraksi dan berkomunikasi antara satu individu dengan individu lainnya melalui jaringan internet menggunakan beberapa aplikasi yang tersedia di Smart Phone seperti WA, facebook, twitter, instagram dan aplikasi lainnya.
Pada awalnya, media sosial tersebut diperkenankan oleh orang tua untuk bermain atau kepentingan belajar. Namun, perlahan tapi pasti, anak mulai mengalihkan fungsi gadget tersebut bukan untuk belajar, namun lebih banyak untuk bermain.
Ada yang menggunakan media sosial untuk akting atau ekspresi diri, selfi, chatting dengan teman, telepon video call dan lain sebagainya. Akan tetapi bagi anak-anak, terutama remaja yang tengah mengalami pubertas, aktifitas phonecelling cenderung digunakan untuk hal-hal yang tidak penting dan bahkan negatif.
Pada dasarnya, menyalurkan hasrat dan minat anak pada media sosial tidak salah. Hanya saja ketika anak menggunakan media sosial untuk mengumbar asmara keremajaan, kemudian dibumbui dengan tontonan negatif seperti gambar porno atau bahkan film porno, tentu saja hal itu sudah fatal dan merusak mental anak.
Mulanya mereka penasaran. Kemudian meningkat coba-coba, selanjutnya kecanduan. Dan paling fatal lagi bila sampai coba-coba melakukan adegan tersebut. Makanya tidak heran bila anak-anak (remaja) zaman now banyak yang menggunakan gadget untuk hal yang tidak baik dan merangsang pada perilaku menyimpang misalnya free sex.
Selain itu, media sosial yang seharusnya digunakan untuk komunikasi antar teman, juga kerap digunakan untuk hal-hal yang tidak penting, sekadar basa basi atau ha ha he he yang berlebihan hingga tidak kenal waktu. Mereka melakukannya dengan duduk-duduk atau tiduran di kamar sembari menghabiskan waktunya.
Parahnya lagi, orang tua di rumah terkadang kurang kontrol, orang tua terlalu percaya dengan anak. Dengan demikian saat orang tua melihat anak sedang memegang HP di kamar, disangkanya sedang belajar, padahal belum tentu.
Baca Juga: https://layarmu.id/dpd-imm-jawa-tengah-resmi-dikukuhkan-usung-program-inklusif-berbasis-sdgs/
Fenomena seperti ini hampir terjadi di mana-mana. Orang tua posisinya serba sulit dan guru juga tidak mampu menjangkau wilayah yang terlalu jauh. Wilayah privasi bukan menjadi wilayah Guru selama anak berada di rumah. Artinya, peran orang tua lebih besar ketimbang peran Guru.
Meski demikian bukan berarti bahwa apa yang terjadi pada anak semata-mata tanggungjawab orang tua, tapi Guru juga turut andil di dalamnya. Hanya saja Guru tidak terlalu dalam sampai menyentuh wilayah privasi anak didiknya. Sebab, Guru tidak tahu persis kegiatan sehari-hari anak. Selama di rumah, orang tua-lah yang mengetahui persis kegiatan anaknya sehari-hari.
Media sosial yang digunakan bukan pada tempatnya dan melebihi porsinya, bukan saja merugikan anak karena banyak waktu yang terbuang, namun lebih dari itu yaitu kerusakan mental. Terlalu banyak bermain HP dan bermedia sosial menjadikan mental anak kebergantungan. Ketergantungan terhadap media sosial membuat anak sulit diberi pengertian dan pemahaman oleh orang tua dan guru.
Anak lebih suka menyendiri dan asyik dengan HP-nya. Sehingga anak menjadi pribadi yang tertutup, emosional, serta kurang peka terhadap keadaan. Mentalitas seperti ini pada akhirnya akan merugikan diri anak terutama karena anak tidak dapat berkembang optimal. Mentalitas yang bergantung pada media sosial membuat dirinya sulit berpikir rasional dan sulit berinteraksi sosial sehingga akan merasakan kehidupan yang sepi dan ter-alienasi.
Anak sering tidak menyadari bahwa apa yang ada di media sosial belum tentu benar dan dari sumber resmi yang bisa dipertangungjawabkan. Keterbatasan pengetahuan dan wawasan yang dimilikinya membuat anak kerap menerima informasi dari media sosial begitu saja tanpa memverifikasi kebenarannya. Dengan demikian, anak kerap menjadi korban hoaks dan bahkan bisa menjadi korban penipuan dengan kedok kecantikan, kuis, pergaulan, dan lain sebagainya.
Pendek kata, derasnya arus media sosial yang berseliweran setiap detik, membuat mental anak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, agar hal-hal seperti itu tidak terjadi pada anak, saudara dan lingkungan kita, sudah seyogyanya kita semua bersinergi dan peduli kepada anak dengan meningkatkan kontrol dan perhatian kepada anak disaat mereka bermedia sosial untuk menghindari berbagai dampak buruk yang ditimbulkannya.
Kontributor: Agus Priyadi, S.Pd.I (Ketua Majlis Tabligh PRM Danaraja, Anggota MT PCM Merden, anggota KMM PDM Banjarnegara.)
Editor: Dhimas