Percaya diri (self-confidence) adalah pilar penting dalam kesuksesan hidup anak. Namun, seringkali kita salah kaprah; kita menyamakan percaya diri dengan kesombongan atau keberanian tanpa batas. Dalam Islam, percaya diri yang sejati berakar pada harga diri (Izzah)—keyakinan bahwa dirinya mulia karena menjadi hamba Allah, yang kemudian mendorongnya untuk berani menghadapi dunia dengan ketenangan.
Melatih percaya diri pada anak berarti membangun benteng internal yang kokoh, di mana anak merasa dihargai, dicintai, dan mampu (capable), lepas dari pujian atau kritik orang lain. Artikel ini akan mengupas strategi parenting untuk menumbuhkan Izzah (harga diri) dan Tawakkal (percaya diri bersandar pada Tuhan) pada anak.
Percaya diri sejati bagi seorang Muslim tidak datang dari perbandingan dengan orang lain, melainkan dari statusnya sebagai hamba Allah yang dimuliakan.
Allah SWT telah menegaskan bahwa manusia, termasuk anak kita, diciptakan dengan potensi terbaik. Keyakinan ini adalah sumber Izzah (kemuliaan diri).
لَقَدْخَلَقْنَاالْإِنْسَانَفِيأَحْسَنِتَقْوِيمٍ
Artinya: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tīn: 4)
Mempelajari ayat ini mengajarkan anak untuk menghargai anugerah fisiknya, kecerdasannya, dan hatinya. Orang tua harus selalu mengingatkan anak bahwa ia istimewa karena ciptaan Tuhannya, bukan karena kemampuannya di sekolah saja.
Nabi Muhammad SAW memberikan teladan langsung tentang bagaimana menghargai, memuji, dan memberikan peran kepada anak, yang merupakan nutrisi utama bagi percaya diri.
Rasulullah SAW sering memberikan pujian yang spesifik dan mengaitkannya dengan amal kebaikan, yang membangun harga diri tanpa kesombongan. Contohnya, pujian beliau kepada Abdullah bin Umar: “Sebaik-baik laki-laki adalah Abdullah, seandainya dia salat malam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pujian ini, yang diikuti dengan saran perbaikan, menunjukkan bahwa pujian yang konstruktif dan fokus pada usaha (bukan hasil) adalah cara terbaik meningkatkan motivasi dan rasa mampu (self-efficacy) pada anak.
Percaya diri tumbuh subur ketika anak diberi tanggung jawab yang sesuai usianya. Nabi Muhammad SAW melatih para sahabat muda sejak dini.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَأَرْسَلَنِي يَوْمًا لِحَاجَةٍ فَقُلْتُ: وَاللَّهِ لَا أَذْهَبُ…
Artinya: Anas bin Malik r.a. berkata, “Nabi SAW adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan, lalu aku berkata, ‘Demi Allah, aku tidak mau pergi.’…” (Anas kemudian tetap pergi, dan Nabi tidak pernah memarahinya.) (HR. Muslim)
Perlakuan lembut Nabi SAW, tanpa memaksakan kehendak atau membentak, mengajarkan bahwa kesalahan adalah bagian dari belajar. Anak yang merasa aman untuk melakukan kesalahan akan lebih berani mencoba hal baru.
Para pakar psikologi dan ulama kontemporer sepakat bahwa percaya diri anak harus dibangun melalui lingkungan yang stabil dan supportive.
Psikolog menekankan konsep validasi emosi. Ketika anak menangis, marah, atau takut, tugas orang tua adalah mendengarkan secara aktif dan mengakui perasaannya (“Ibu mengerti kamu sedih karena temanmu tidak mau berbagi”).
Dr. Aisha Utz, pakar dalam psikologi Islami, menjelaskan bahwa validasi emosi menguatkan rasa diri anak: “Aku penting, perasaanku valid, dan orang tuaku menerimaku.” Penerimaan tanpa syarat ini adalah fondasi psikologis untuk rasa aman dan harga diri.
Syaikh Muhammad Al-Ghazali (ulama modern) menasihati orang tua untuk menjaga lisan terhadap anak. Setiap hinaan, label negatif, atau perbandingan dengan anak lain adalah racun yang menghancurkan harga diri dan menciptakan rasa rendah diri. Syaikh Muhammad Al-Ghazali “Pendidikan yang merusak adalah membandingkan anak dengan saudaranya atau temannya. Anak harus tahu bahwa mereka dinilai berdasarkan usahanya, bukan hasil orang lain.”
Daripada memuji kepintaran (hasil), biasakan memuji usaha (proses) dan ketekunan (mujahadah) anak, terlepas dari hasil akhirnya. Ketika anak gagal dalam lomba, orang tua harus memuji: “Ayah bangga kamu sudah berani mencoba dan gigih berlatih. Itu adalah keberhasilan sejati.”
Melatih anak untuk berbuat Ihsan (melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya) dalam tugas sekolah, ibadah, atau kegiatan adalah cara menanamkan keyakinan bahwa usaha maksimal adalah ibadah yang paling utama, dan hasilnya sepenuhnya urusan Allah SWT. Ini adalah percaya diri yang suci, bebas dari kesombongan.
Melatih percaya diri pada anak adalah investasi spiritual yang membentuk karakter pemimpin bertawakal, bukan pecundang yang takut gagal. Kita harus mengganti pujian berlebihan dengan penghargaan tulus atas usaha, mengganti perbandingan dengan penerimaan tanpa syarat, dan mengganti rasa takut dengan tawakkal kepada Sang Pencipta.
Dengan membangun benteng Izzah dalam hati anak, kita mempersiapkan mereka menjadi individu yang berani, tenang, dan siap menghadapi tantangan hidup dengan keyakinan penuh.
Kontributor: Arif Saefudin, S.Ag. (Pimpinan Pengembangan Cabang dan Ranting PCM Blambangan dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara)
Editor: Dhimnas