Kehidupan dan makanan adalah dua hal yang memiliki keterkaitan sangat erat. Oleh karena itu semua manusia dan makhluk hidup lainnya di dunia ini membutuhkan makanan untuk bisa bertahan hidup. Makanan kadang diperoleh dengan cara diupayakan tapi kadang datang di depan mata dengan sendirinya. Hal ini sesungguhnya dikarenakan makanan itu merupakan rizki primer yang sudah diatur oleh Allah SWT sebagaimana tercantum dalam surat Hud ayat 6
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ”.
Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)
Keterjaminan rizki juga dibarengi dengan takaran yang sudah ditentukan pula. Allah SWT jualah yang membuat skenario kehidupan dimana sebagian orang memiliki rizki yang berlebih dan ada juga yang harus menanggung kekurangan. Kedua kondisi tersebut pada hakikatnya merupakan ujian agar manusia senantiasa bersyukur dan bersabar tanpa meninggalkan perintahNya berupa kesediaan manusia untuk tunduk dan taat beribadah kepada Sang Pemberi rizki.
Namun karena sifat manusia yang memiliki dua sisi, taat dan durhaka, maka mereka kerap lupa pada Sang Pemberi karunia. Bahkan tidak jarang mereka merasa bahwa makanan yang diperoleh adalah hasil jerih payah yang mereka upayakan dan perjuangkan. Sehingga dengan demikian mereka merasa bebas untuk menikmatinya.
Pascamerebaknya media sosial, gaya hidup manusia yang bersentuhan dengan gawai mulai berubah. Arus informasi yang begitu deras telah mendorong mereka untuk bertukar pengaruh satu sama lain baik skala lokal maupun global.Termasuk di dalamnya soal budaya makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
Makanan menjadi komoditas menarik untuk diulas dan kemudian disebarluaskan melalui jejaring sosial yang ada. Hal inilah yang kemudian memunculkan sindrom modernitas di tengah masyarakat.
Kata sindrom sendiri bisa diartikan secara sederhana sebagai tanda tanda yang menunjukkan ketidakwajaran. Sedangkan modernitas adalah kata benda bermakna kemodernan
yang menunjukkan sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.
Melalui media sosial pula makanan menjadi barang yang ramai diperbincangkan dan juga dipamerkan setiap hari sehingga menciptakan segmentasi tradisional dan modern.
Hanya saja segmentasi tersebut juga mempengaruhi cara pandang dan gaya hidup yang mengkonsumsinya.
Para penggiat makanan tradisional beranggapan bahwa sumber inspirasi makanan yang dikonsumsi merupakan buah dari kearifan lokal sesuai ajaran yang dianut. Sedangkan sentuhan modern pada makanan diasosiasikan dengan penerimaan sebuah penyajian makanan dengan standar global. Artinya makanan dipaksa untuk bermetamorfosis menjadi kudapan rasa global meskipun harus menanggalkan cita rasa otentiknya sekalipun. Dengan demikian makanan merupakan cerminan gaya hidup yang dianut oleh penikmatnya.
Makanan sebagai gaya hidup
Makanan sejatinya hanyalah pengganjal perut yang lapar. Namun bagi manusia di zaman sekarang posisinya mulai bergeser. Terlebih tatkkala manusia mengenal jejaring sosial di dunia maya. Di mana Makanan dan Sindrome modernitas sudah menjadi suatu hal umum.
Pertukaran informasi lewat berbagai media pada akhirnya akan menciptakan asimilasi budaya dan gaya hidup seseorang. Permasalan bagi umat Islam kemudian muncul ketika modernitas makanan berkiblat pada budaya negara yang dianggap sudah mapan dan maju atau yang sedang menjadi trending topic. Atau lebih tepatnya budaya popular. Termasuk di dalamnya dalam hal cara mengkonsumsinya.
Modernitas dalam hal makanan tanpa disadari juga kerap menjadi bumerang karena posisinya sebagai senjata softpower mampu mengubah gaya hidup masyarakat sebuah bangsa. Bagi kalangan yang menganut pola hidup modern dimana menginginkan semua hal serba cepat dan mudah maka makanan pun diciptakan serba instan. Mulai dari makanan cepat saji sampai minuman serbuk penambah energi. Mulai makanan berat sampai ke makanan ringan.
Kadangkala sang produsen tidak menghiraukan halal haram, namun kadang masih mengalah dan mau mengikuti regulasi sebagai bagian dari adaptasi. Semuanya demi keuntungan dan memenuhi nafsu syahwat perut konsumen semata. Sehingga tidak mengherankan jika produk yang dihasilkan mampu mengubur nilai kebaikan makanan yang akan dikonsumsi. Makanan bukan lagi soal kebutuhan jasmani tapi justru hanya untuk menunjukkan eksistensi. Dan kemudian menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pergaulan di dunia maya yang saling terkoneksi.
Padahal dalam kaidah mengenai konsumsi makanan, Islam mengajarkan umat manusia terkhusus bagi yang beriman untuk senantiasa waspada dengan apa yang dimasuk ke dalam perutnya. Parameter utamanya bukan sekedar tradisional dan modern, enak atau tidak enak, ekonomis atau premium, tapi harus terpenuhi dua kriteria yaitu halal dan thoyyib (baik). Sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 169 dan 172
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ وَاشْكُرُوْا لِلّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
Pada ayat 169 bentuk perintah Allah SWT untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan thoyib ditujukan secara umum kepada semua manusia baik yang mukmin maupun yang kafir. Ini menunjukkan bahwa nilai kebaikan makanan akan didapatkan apabila kedua sifat tersebut terpenuhi. Akan tetapi pada ayat 172 perintah makan yang thoyib diulang kembali hanya kepada mereka yang beriman dengan dua tujuan.
Pertama, Kehalalan itu mencakup, bahan, alat, cara memperoleh, dan cara menghidangkannya. Sehingga seorang yang beriman diasumsikan pasti mau menjadikan parameter ini sebagai patokannya. Kedua,pengulangan tersebut dimaksudkan sebagai wujud rasa sayang Sang Pemberi kepada hambaNya. Thoyyib ini tujuannya jelas akan memberi dampak baik bagi penikmatnya lahir maupun batin, berdimensi dunia maupun akhirat.
Relasi ketuhanan melalui makanan
Jika makanan bagi mereka yang terjangkit sindrom modernitas merupakan cerminan standard gaya hidup, artinya berbeda halnya dengan orang yang beriman. Makanan selalu dikaitkan dengan kemurahan Allah SWT dan harus disyukuri dengan menunaikan HakNya. Oleh karena itu makanan menjadi satu hal yang penting untuk diperhatikan.
Kedua parameter yang disebutkan di atas adalah syarat mutlak bagi hamba yang beriman jika dirinya merasa malu terhadap Tuhannya. Sebagaimana termaktub dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Hakim, …Barang siapa yang malu kepada Allah SWT dengan sebenar-benar malu, maka hendaknya ia memelihara kepalanya dan benaknya; memelihara perutnya dan apa yang dimakannya… Alhadits.
Selain perwujudan rasa malu kepada Sang Pemberi rizki, memperhatikan kehalalan makanan juga bisa menjaga relasi dengan Tuhannya. Karena dalam setiap untaian doa yang diucapkan sang hamba akan terdengar sampai pintu langit. Sedangkan doa yang dilantunkan oleh penikmat makanan haram akan diabaikan. Begitu juga dengan sholat yang dilakukan akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu jika orang yang beriman tidak menjaga makanannya terutama aspek kehalalannya maka peringainya sangat mungkin jauh dari agama. Hatinya sulit tertaut dengan Allah SWT, lisannya amat kelu untuk berzikir, nafsunya memberontak serta menolak tatkala muncul keinginan jiwa membaca Al-quran.
Sebagai penutup tulisan ini, mari jadikan makanan kita sebagai cermin. Apabila kita dan keluarga dirundung masalah, jauh dari Allah SWT, dan menjerumuskan kita pada kerakusan terhadap dunia maka bisa jadi semuanya bermula dari makanan yang masuk ke dalam perut kita. Memang kita hidup di zaman modern tapi makanan tetaplah makanan yang asalnya dari tanaman serta hewan yang disediakan oleh Sang Pencipta. Tujuannya jelas agar kita selalu ingat dan bersyukur kepadaNya. Bukan malah menjadikannya sebagai berhala yang dipuja dan dibanggakan.
Wallahu a’lam bisshowab
MARs, Banjarnegara 20 April 2025
Kontributor: Rosyid (PRM Wangon)
Editor: Dhimas