Tahun 1938 Hoofdbestuur Muhammadiyah (sekarang Pimpinan Pusat) meminta tanggapan dari cabang dan grup Muhammadiyah dari berbagai daerah untuk memberikan penjelasan tentang lima masalah yang sedang menjadi diskusi di Muhammadiyah saat itu. Lima masalah itu adalah tentang apa itu agama, dunia, ibadah, sabillah dan qiyas. Kelima masalah ini perlu disepakati pengertian dan batasannya oleh warga persyarikatan agar tidak menimbulkan kerancuan saat akan menentukan hukum berbagai perkara.
Di antara yang menjadi diskusi para alim di Muhammadiyah saat itu adalah tentang batasan perkara yang termasuk masalah agama dan dunia. Sebabnya adalah karena agama telah dinyatakan sempurna oleh Sang Pembuat syariat sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 3 yang berbunyi
ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Al-Maidah:3)
Adapun agama itu sendiri tidak lah bertujuan menjadi beban dan kesempitan bagi manusia, sebagaimana dinyatakan didalam Al-Qur’an surah Al-Haj ayat 78:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى ٱلدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan
Sehingga adanya agama haruslah menjadi solusi bagi kehidupan manusia. Namun karena agama itu telah sempurna, maka tentulah tidak tersisa lagi ruang perubahan dan inovasi padanya. Karena sempurna itu menuntut tidak bolehnya penambahan ataupun pengurangan. Padahal permasalahan hidup manusia itu senantiasa berkembang, sehingga banyak permasalahan hidup harus disikapi dengan pertimbangan akal pikiran. Maka di sinilah perlu penjelasan tentang mana saja perkara yang tidak boleh ditambah ataupun dikurang, yaitu masalah agama yang telah sempurna itu, dan mana masalah yang boleh dipikirkan kemaslahatannya dengan akal yaitu masalah dunia. Hal ini sebagaimana juga telah dijelaskan oleh nabi
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR. Muslim, no. 2363)
Rumusaan tentang lima permasalahan di atas kemudian diputuskan oleh Majelis Tarjih yang kemudian diterbitkan dengan judul Kitab Masalah Lima. Adapun isi daripada masalah lima adalah sebagai berikut ini:
Pertama, agama, (a) agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ialah apa yang diturunkan Allah dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam al-Sunnah maqbulah, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat, (b) agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan Nabi-nabi-Nya, berupa perintah dan larangan serta untuk kebaikan-kebaikan manusia di dunia dan akhirat.
Kedua, yang dimaksud “urusan dunia” dalam sabda Rasulullah “Kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi, (yaitu perkara/pekerjaan/urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan manusia).
Ketiga, ibadah adalah ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan mengamalkan segala yang diinginkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus (madhah dan gairu mahdhah).
Keempat, sabilillah ialah jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridhaan Allah, berupa segala amalan yang diizinkan Allah untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.
Kelima, ijtihad. Poin ini belum ada penjelasan secara rinci. Disebutkan, (a) bahwa dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadis, (b) bahwa dalam menghadapi persoalan yang telah terjadi dan sangat dibutuhkan untuk diamalkan, mengenai hal-hal yang tidak bersangkutan dengan ibadah mahdlah, padahal untuk alasan atasnya tidak terdapat nash sharih dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istimbath dari nash yang ada, melalui persamaan illat, sebagaimana dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf.
Kontributor: Heri Sunaryo (Ketua PDPM Banjarnegara)
Editor: Dhimas