Pimpinan Daerah Muhammadiyah Banjarnegara
Jl. K.H. Ahmad Dahlan No.8, Banjarnegara, Jawa Tengah 53418

Indahnya Ukhuwah yang Disatukan Oleh Dakwah

Pagi itu, selepas mengisi kuliah subuh. Seorang mubaligh hijrah dari Muhammadiyah sengaja saya ampirkan ke gubuk tempat saya berteduh. Waktunya memang hanya sekira satu jam. Awalnya saya merasa canggung, tapi obrolan pagi itu mencairkan suasana dibarengi juga tersingkapnya ikatan ruh yang ternyata memiliki kesamaan. Perlahan saya mulai menyadari indahnya ukhuwah yang dirajut dengan dakwah.

Ya, kami sama-sama menjalani ikatan moral sebagai mubaligh akar rumput. Begitu juga aktivitas duniawi kami yang memiliki kesinggungan di bidang pertanian dan peternakan. Terkhusus dunia permenthokan. Saya sudah mulai lebih awal di bidang tersebut, sedang soal dakwah beliau jauh lebih banyak makan asam garam dibanding dengan diri saya.

Saking asyiknya kami bercengkrama, ternyata mentari sudah memancarkan sinarnya di balik tipis selimut mendung, kehangatan mentari mulai menyapa kami berdua yang terlibat obrolan hangat.

Beliau yang memiliki kewajiban merawat ribuan unggas agaknya terlihat gusar. Saya pun bisa merasakan panggilan alam yang harus segara dipersiapkan ube rampainya itu. Jam tujuh pagi, biasanya beliau harus bersiap menjalani agenda pekerjaan formalnya, yakni ngantor.

Belum genap sepekan sebelumnya, saya memang mengisi di tempat beliau. Ya, kuliah subuh yang pertama kali di luar lingkungan saya. Tentu saja pengalaman tersebut amat berkesan sampai detik ini. Begitu juga dengan obrolan di kediaman beliau yang ditemani rintik hujan berujung saling mengenal lebih jauh. Ternyata kami memiliki persamaan yang sama seperti frekuensi radio antara pemancar dengan receiver. Memang benar kata hadis Nabi.

الروح جنود مجندة

Ruh itu memang suka berkumpul dengan ruh yang satu frekuensi. Atau istilah anak sekarang memiliki vibes yang sama.

Kembali ke pembahasan tentang menthok. Karena rasa penasaran beliau bagaimana praktik saya memelihara unggas yang terkenal jorok itu, buru-buru beliau mengajak saya menengok kandang di belakang rumah. Saya sejujurnya agak malu. Selain becek dan seadanya, kandang saya terletak di belakang rumah. Bernaung rindangnya pohon alpukat. Praktis, bila hujan tiba seperti malam sebelumnya, sinar mentari takkan mampu mengeringkan liatnya tanah akibat injakan menthok bercampur kotoran mereka.

Namun, karena kami sekali lagi memiliki kesamaan profesi dan berada di akar rumput maka kantor kami juga sama. Kantor kami ya berupa kandang kotor. Sebuah istilah yang beliau perkenalkan pada saya dan jamaah saat itu tanpa rasa resah dan gundah. (Sebuah kejujuran yang patut saya teladani, terima kasih, ustaz)

Bagi saya peternak gurem, memelihara menthok sejumlah puluhan apalagi mendekati angka dua digit sudah cukup merepotkan. Apalagi saya penganut efisiensi pakan yang harus minim mengeluarkan uang. Beda dengan beliau yang mengurus unggas hingga ribuan sedangkan menthok hanya sebagai sambilan. Namun, tatkala pandangan mata beliau menatap kerumunan menthok peliharaan saya, tiba-tiba beliau berujar.

“Wah, ini banyak ini.”

Saya tentu sadar diri. Jumlah yang saya rawat hanya berapa gelintir. Maka saya langsung menanggapi.

“Alhamdulillah, meskipun tidak banyak tapi sampai saat ini tergolong sehat dan menyenangkan bagi kami yang merawatnya.”

Selain berbincang mengenai perawatan menthok, beliau juga sempat memperhatikan kandang yang saya dirikan.

Baca juga: Paradoks Kebebasan Perempuan: Antara Harapan dan Batasan

Aslinya benar-benar gubuk sangat sederhana tanpa adanya pagar yang menutup sampai atap kandang. Hanya berupa pagar dari bambu, dan itupun biasa saya lompati kalau mau memberi tambahan ransum atau air minum. Namun, rupanya yang demikian membuat beliau terheran.

“Kalau kandang semacam ini berdiri di tempat saya, maka keamanannya pasti disangsikan. Apakah kandang semacam ini aman dari pencurian?”

“Selama ini, alhamdulillah aman. Kalaupun ada yang hilang mungkin saja terjadi tapi jujur saya tidak begitu peduli,” timpal saya waktu itu.

Kemudian saya melanjutkan jawaban tatkala beliau membahas tentang kandang sebelah yang lebih tertutup.

“Memang, kalau malam hari saya sedikit was was terutama saat mentok ini sangat gaduh. Tapi dari dulu saya selalu memakai prinsip pagar terbaik itu adalah pagar hidup di sekitar kita.”

Sejurus kemudian beliau mengiyakan.

“Merawat pagar hidup itu sebetulnya mudah, kita hanya perlu memikirkan apakah yang kita usahakan sudah dirasa manfaatnya oleh mereka secara langsung atau belum,” papar saya lebih lanjut.

“iya juga, sih,” jawab beliau singkat.

Selain kandang dan isinya, sapuan pandangan beliau tampak menyisir rimbunnya pohon buah di sekitar.

Saya pun memaparkan lebih lanjut.

“Pohon buah di belakang rumah ini, alhamdulillah lir gumintir. Ada Jambu biji, belimbing, jeruk, pepaya, pisang dan yang paling banyak tentu saja alpukat. Kerap saya memerintahkan diri sendiri agar lebih bersyukur karena dikaruniai lahan sepetak tapi buahnya selalu ada yang bergelantungan.

Tapi, di sisi lain karena lahan jadi tontonan warga yang lewat maka hak mereka perlu pula saya tunaikan. Ya, kalau kedapatan buah atau unggas hilang maka saya anggap saja itu sedekah. Sungguh, ikhlas bila upaya kita merawat sesuatu rupanya harus dinikmati orang tanpa izin sekalipun. Toh itu hanya sekali dua waktu saja. Selebihnya sampai saat ini alhamdulillah aman terkendali.”

Anggukan beliau saya lihat sudah merasa puas. Justru beliau menanyakan apakah saya menjual anakan menthok yang mulai berisik mengisi pagi itu.

Sebagai peternak saya bisa saja menjual bakalan sampai indukan, apalagi saat momen menjelang lebaran. Tapi saya pikir spesifikasi kebutuhan beliau tidak bisa saya sediakan. Maka saya pun berinisiatif untuk mencoba mencarikan info dari peternak lain di sekitar yang beliau setujui.

Beberapa hari kemudian, beliau benar-benar datang kembali untuk bertransaksi dengan tetangga saya. Saya juga tidak bisa menemani karena ada agenda yang harus ditunaikan. Tapi pertemuan itu membekas begitu dalam. Dari yang tadinya hanya sekadar sapaan, kini menjadi lebih intens karena ikatan ukhuwah.

Memang, begitu nikmat dan indahnya sebuah ikatan ukhuwah. Apalagi jika itu bermula dari aktivitas berdakwah.

Wallahu a’lam bishowab

MARs, Banjarnegara 7 April 2025

Kontributor: M Abdurrasyid (Ketua PRM Wangon)

Editor: Dhimas

Share the Post:
Related Posts