Dalam petunjuk pelaksanaan enam langkah Muhammadiyah 1947 yang dikeluarkan oleh Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada medio akhir tahun 2007, poin pertama yang dibahas adalah bagaimana mengadakan mubalighin dan mubalighat dalam melakukan dakwah islamiyah. Pertama, mencari orang yang sanggup menjadi mubaligh. Kedua, mengadakan kursus pekanan/bulanan bagi mubaligh. Ketiga, ikhtiar dan menunjukkan tempat-tempat bertabligh. Keempat, menyusun manajerial urusan tabligh tersebut.
Hampir dua dekade berikutnya, tantangan zaman mengubah kompas isu-isu strategis persyarikatan. Begitu juga dengan arah pengkhidmatannya. Hal ini kita bisa jumpai pada Risalah Islam Berkemajuan hasil muktamar ke-48 di Surakarta. Yang kemudian diturunkan lagi menjadi rencana kerja di tingkat daerah.
Dalam risalah masalah keumatan ada dua poin utama yang dibahas yaitu soal ukhuwah dan perbaikan kualitas ummat yang bisa juga dijabarkan lebih luas dalam ranah taktikalnya. Misalkan dalam pembahasan Musyda PDM Banjarnegara ke 48 tahun 2023 yang lalu. Isu-isu strategis keummatan menyasar pada regimentasi paham agama, migrasi jamaah dan tantangan dakwah, autentisitas wasathiyah Islam, beragama yang mencerahkan, reformasi tata kelola filantropi islam, penguatan persatuan umat, dan pembangunan kesalehan digital. Kemudian ditambah lagi dengan usulan memperkuat analisis perubahan sosial di masyarakat dan merekomendasikan penerapan sustainable farming di bidang eksternalnya.
Ragam isu strategis tersebut tentunya membutuhkan kedewasaan dan keluasan wawasan yang luwes pula dalam aksi nyatanya. Oleh karenanya pundak para kader Muhammadiyah tampaknya akan diuji kembali dengan berbagai dinamika tantangan riil yang lebih berat lagi. Terutama mereka yang bergerak aktif di ranah dakwah sebagai mubaligh mubalighat.
Nun demikian entah itu kebetulan atau memang sudah menjadi entitas para kader, tempaan pendidikan formal dan non formal membuat mereka tetap akan menonjol. Sehingga pernah suatu ketika seorang petani menuangkan harapannya. “Saya hanya berharap, Muhammadiyah yang semuanya orang-orang pinter bisa lebih aktif lagi memikirkan nasib kita”.
Dakwah Bukan Sekadar di Mimbar
Meskipun kata dakwah secara bahasa berarti mengajak yang artinya banyak menggunakan bahasa lisan tapi dalam praktiknya dakwah tidak selesai pada ranah tabligh (menyampaikan). Apalagi dakwah di Muhammadiyah yang konsisten membawa misi berkemajuan.
Dr. Ibnu Sholeh dalam suatu kesempatan pernah memberikan pencerahan mengenai kerja komprehensif aktivis dakwah, yaitu:
Pertama, Himayatul ummah atau mengayomi ummat. Kalau di zaman KH. Ahmad Dahlan misi pengayoman ummat mungkin berkutat pada TBC di ranah akidah dan pelayanan terhadap kaum marginal secara sosial, saat ini tentu saja spektrumnya jauh lebih kompleks lagi. Gempuran dahsyat di bidang ideologi, politik,sistem ekonomi ribawi, transformasi sosial berbasis digital, dan budaya global yang semakin hilang sekat ruang dan waktunya menjadi sebuah wahana laga baru bagi semua kader Muhammadiyah. Mereka harus siap untuk bersatu padu, mengulurkan tangan saling bahu membahu dalam mengayomi ummat dari gempuran dahsyat tersebut jika tidak ingin tergerus atau ditinggal jamaahnya..
Kedua, Tauhidul ummat, menyatukan semua potensi ummat dalam satu gerak dakwah. Dalam hal ini tentu saja Muhammadiyah sudah cukup fasih meramu potensi besar kader berdasarkan potensi mereka masing-masing dan tertuang baik dalam majelis,AUM, maupun ortom. Namun demikian karena dinamika perubahan yang diakibatkan oleh adanya disrupsi 4.0 maka tidak mungkin tiap majelis, AUM, dan ortom berkerja sendiri. Dan disitulah pentingnya kerja berikutnya berupa taswiyatul afkar.
Ketiga, Taswiyatul afkar, penyamaan persepsi diantara semua yang terlibat. Praktik ini akan lebih mudah dilakukan apabila budaya musyawarah menjadi poros sebuah keputusan gerak organisasi. Pada tataran akar rumput di persyarikatan Muhammadiyah, sebenarnya musyawarah adalah kebutuhan rutin yang wajib dilakukan. Bahkan dalam menilai kriteria kondisi ranting, perkara rapat atau musyawarah tiap pekan menjadi salah satu barometernya. Meskipun secara empiris tidak semua PRM bisa melaksanakan sesuai yang apa diharapkan karena berbagai kendala. Namun setidaknya melalui musyawarahlah prioritas kerja bisa diputuskan dan akhirnya menjadi tonggak lahirnya kerjasama baik dalam lingkup internal maupun eksternal.
Keempat, tansyithul harokah atau mengaktifkan gerakan secara kolektif. Kolektivitas kerja juga merupakan ruh Muhammadiyah yang harus dilestarikan. Pasalnya ketika jargon yang sudah kencang didengungkan dalam intern persyarikatan berupa “tiada hari tanpa memberi, tiada bulan tanpa iuran, tiada tahun tanpa membangun” maka konsekuensi logisnya akan ada kerja kolektif di dalamnya. Tiap pimpinan, AUM, maupun Ortom saling bahu membahu untuk menyelesaikan program kerja yang mereka usung. Oleh sebab itu kebutuhan untuk melakukan kolaborasi dengan memanfaatkan sinergi yang ada adalah kebutuhan mutlak. Misalnya dalam praktik zakat fitrah tiap tahun, sebenarnya secara undang-undang pengumpulan Zakat Infak dan Sedekah (ZIS) hanya sah dilakukan oleh amil yang berizin resmi saja. Namun dalam praktiknya kita bisa lihat di banyak masjid dan musholla ada panitia yang menyelenggarakan pengumpulan dan pembagian zakatnya sendiri. Muhammadiyah juga sebenarnya melalui Lazismu bisa menjembatani. Salah satunya dengan mendirikan kantor layanan Lazismu di masjid yang menjadi AUM Pimpinan Ranting Muhammadiyah tertentu.
Keempat kerja dakwah yang demikian adalah kerja besar yang tidak hanya berada dalam tataran gagasan. Ummat justru membutuhkan aktualisasi kongkrit sekaligus meneguhkan kembali ruh Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan keagamaan yang dinahkodai oleh insan-insan penuh ghirroh berdakwah. Alhasil, sampai detik ini ribuan masjid dan AUM bidang pendidikan baik di dalam dan luar negeri. Ratusan sakit, klinik, pelayanan sosial, usaha ekonomi dan lain sebagainya agaknya akan terus menggurita.
Dai bukan superman, tapi super team
Seorang dai kadang memang identik dengan mubaligh. Sebagaimana dapat kita lihat di media layar kaca dan berbagai pelombaan dai dari kampung sampai skala nasional. Agaknya memang tidak keliru jika dakwah billisan menjadi sebuah acuan. Namun demikian kita juga harus ingat bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah. Gerakan yang menerjemahkan bacaan alquran dalam bentuk amaliah nyata.
Seorang dai mungkin bisa menjadi orator ulung, menjadi motivator handal, tapi yang tidak kalah pentingnya adalah menjadi fasilitator perubahan. Untuk itulah apa yang disampaikan oleh Pimpinan Majelis Tabligh terkait sifat dasar mubaligh Muhammadiyah sangatlah relevan. Yaitu, kader dakwah sejatinya mereka yang sregep, entengan, ikhlas, kober, dan militan.
Menjadi kader dakwah yang sregep tentu tidak semua mampu apalagi mempunyai kepekaan sosial yang tinggi, hanya mereka yang pandai membawa diri disertai sikap entengan sekaligus ikhlas beramal yang dalam bahasanya Muhammad Nasirudin sebagai pamrih tertinggi. Sikap kober atau mau meluangkan waktu juga menjadi prasyarat yang tidak bisa dipisahkan dari jiwa militan. Dimana ada panggilan dakwah di persyarikatan maka pada kader idealnya akan siap sedia tanpa banyak alasan yang menunda. Hal ini sudah dicontohkan di era KH. Ahmad Dahlan tatkala memerintahkan muridnya berdakwah di luar kota dan ternyata ketinggalan kereta. Sang guru tidak lekas permisif justru disitulah jiwa militan sang murid sedang diuji. Maka tidak ada kereta, mode transportasi apapun bisa didayagunakan.
Memenuhi prasyarat kader seperti tersebut di atas memang sepertinya perlu perjuangan tersendiri. Bahkan bisa dibilang kader itu, bagaikan superman. Namun apabila itu merupakan keniscayaan maka solusinya adalah membentuk super team. Oleh karena itu kita perlu mengambil inspirasi dalam Alquran surat Al-Hujurat ayat 13
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Perbedaan adalah sebuah keniscayaan, dengannya kita diminta untuk saling mengenal satu sama lain. Bukan untuk saling mengintimidasi atau mau menganeksasi seperti dilakukan Zionis di tanah Gaza. Sebaliknya kita mesti menjadikan perbedaan itu sebagai rahmat. Kemudian bisa melanjutkan pada taraf implementasi sebagaimana tertuang dalam ayat kedua surat Al-Maidah.
Kalau itu semua bisa dilakukan, penulis percaya di abad kedua Muhammadiyah, dakwah akan semakin berkah dan berkemajuan. Namun sebaliknya sehebat apapun superman dengan berbagai konsep dan gagasan supernya namun nihil kolaborasi maka cepat atau lambat akan menguap dimakan waktu.
Oleh karena itu mari kita menyingsingkan baju, menggerakkan apa yang menjadi komitmen kita bersama. Menjadi kader dakwah di bawah naungan persyarIkatan Muhammadiyah. Hingga kita berkumpul kembali di jannah.
Wallohu a’lam bisshowab
Kontributor: Rosyid (PRM Wangon)
Editor: Dhimas