Semakin Tua Semakin Bijak

Ditulis oleh Majelis Tabligh

25 October 2025

Usia tua, atau masa senja, sering kali digambarkan secara paradoks: di satu sisi adalah fase penurunan fisik, namun di sisi lain merupakan puncak kematangan dan kebijaksanaan hidup. Dalam Islam, pertambahan usia dipandang sebagai anugerah dan kesempatan emas untuk mengasah hikmah kebijaksanaan sejati yang lahir dari pengalaman, renungan, dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Pepatah lama mengatakan “Semakin tua, semakin bijak”, dan pandangan Islam membenarkan hal ini, dengan syarat usia tersebut diisi dengan kesadaran dan ketaatan.

Al-Qur’an secara eksplisit mengaitkan panjangnya usia dengan kewajiban untuk berpikir dan mengambil pelajaran. Ini menunjukkan bahwa waktu yang lama di dunia bukanlah kesia-siaan, melainkan modal berharga untuk mencapai kebijaksanaan. Allah SWT berffirman dalam Q.S. Fatir Ayat 37:

أَوَلَمْنُعَمِّرْكُمْمَّايَتَذَكَّرُفِيهِمَنْتَذَكَّرَوَجَاءَكُمُالنَّذِيرُۖفَذُوقُوافَمَالِلظَّالِمِينَمِنْنَصِيرٍ

Artinya: “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepadamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun.” (Q.S. Fatir Ayat 37).

Ayat ini adalah teguran tegas di hari Kiamat bagi mereka yang diberikan umur panjang, waktu yang cukup untuk berpikir tetapi menyia-nyiakannya. “Masa yang cukup untuk berpikir” (ma yatazakkaru fihi) merujuk pada periode yang memungkinkan seseorang untuk mencapai kematangan akal dan hati, yang puncaknya adalah kebijaksanaan.

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman:

ٱللَّهُٱلَّذِىخَلَقَكُممِّنضَعْفٍۢثُمَّجَعَلَمِنۢبَعْدِضَعْفٍۢقُوَّةًثُمَّجَعَلَمِنۢبَعْدِقُوَّةٍۢضَعْفًاوَشَيْبَةًۚيَخْلُقُمَايَشَآءُۖوَهُوَٱلْعَلِيمُٱلْقَدِيرُ

Artinya: “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Q.S. Ar-Rum Ayat 54).

Masa kelemahan dan uban (dha’fan wa syaibah) di usia senja adalah penanda kekuasaan Allah dan akhir dari kekuatan duniawi. Kebijaksanaan di sini adalah kesadaran bahwa segala kekuatan bersifat fana, sehingga fokus hidup harus beralih sepenuhnya pada nilai-nilai yang kekal.

Nabi Muhammad SAW memberikan pemuliaan khusus bagi orang-orang yang mencapai usia senja dalam Islam, mengisyaratkan bahwa bertambahnya usia, terutama jika disertai keimanan, adalah sumber kemuliaan dan hikmah.

Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّمِنْإِجْلَالِاللَّهِإِكْرَامَذِيالشَّيْبَةِالْمُسْلِمِ

Artinya: “Sesungguhnya termasuk dari mengagungkan Allah adalah memuliakan orang Muslim yang sudah beruban (lanjut usia).” (HR. Abu Dawud)

Hadis ini mengajarkan bahwa usia lanjut seorang mukmin adalah kemuliaan yang datang dari Allah. Uban bukan sekadar tanda penuaan, melainkan simbol pengalaman, kesabaran, dan ketaatan yang telah teruji waktu. Memuliakan mereka adalah memuliakan Allah, sebuah pengakuan atas hikmah yang seharusnya dimiliki oleh orang yang telah melalui berbagai fase kehidupan.

Ketika ditanya siapakah manusia yang paling baik, Rasulullah SAW menjawab:

خَيْرُالنَّاسِمَنْطَالَعُمْرُهُوَحَسُنَعَمَلُهُ

Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR. At-Tirmidzi)

Kebijaksanaan sejati diukur dari kemampuan mengelola umur panjang. Ini adalah hikmah dalam bertindak, di mana setiap tahun yang bertambah digunakan untuk memperbaiki kualitas amal, bukan menambah daftar penyesalan.

Para ulama menafsirkan ayat-ayat di atas dengan menyoroti bahwa usia senja seharusnya menjadi puncak kedewasaan spiritual dan intelektual. Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa pada usia tersebut, akal, pemahaman, dan kelembutan seseorang telah mencapai kesempurnaan. Ini adalah usia di mana seseorang diharapkan memiliki kebijaksanaan dalam memutuskan dan mengendalikan diri. Dengan bertambahnya usia, pengalaman hidup yang panjang menjadi bahan bakar untuk pemahaman yang lebih mendalam (tafaqquh) terhadap ajaran agama dan realitas dunia.

Imam Malik pernah berkata, “Ketika mereka (para ulama salaf) mencapai usia 40 tahun, mereka menjauh dari manusia (sibuk beribadah).” Meskipun tidak berarti mengisolasi diri, perkataan ini menekankan bahwa kebijaksanaan di usia tua adalah kemampuan untuk meninggalkan kecintaan berlebihan pada dunia (zuhud) dan mengarahkan fokus sepenuhnya pada persiapan akhirat. Hikmah mengajarkan bahwa harta benda dan pujian manusia adalah fana, sementara bekal amal adalah kekal.

Para ulama sering menyebut uban (asy-syaib) sebagai “Pemberi Peringatan” (An-Nadzir) yang dikirimkan oleh Allah. Kebijaksanaan di sini adalah kesiapan menerima tanda-tanda kematian. Seorang yang bijak akan melihat uban sebagai alarm, yang memicunya untuk meningkatkan muhasabah (introspeksi) dan mempercepat taubat.

Baca Juga: Sah! Ustaz. Ifad Zain Azhar Resmi Nakhodai Pondok Pesantren Modern Daarul Falaah Muhammadiyah Merden Periode 2025-2029

Menjadi tua adalah keniscayaan, tetapi menjadi bijak adalah pilihan dan hasil dari upaya seumur hidup. Kebijaksanaan di usia senja terwujud dalam: a) ketenangan (Sakinah), yaitu tidak lagi mudah terombang-ambing oleh urusan dunia, melainkan pasrah (tawakkal) penuh pada ketetapan Allah. b) kepemimpinan spiritual, artinya menjadi sumber nasihat yang teduh (hikmah) bagi keluarga dan masyarakat, bukan karena jabatan, melainkan karena pengalaman. c) kualitas ibadah, yakni lebih fokus pada kekhusyuan daripada kuantitas, menjadikan ibadah sebagai penyejuk jiwa. d) menghargai waktu, dengan senantiaa menyibukkan diri dengan amalan yang ringan namun berpahala besar, seperti zikir dan silaturahmi, sebagai investasi masa depan abadi.

Pada akhirnya, bagi seorang mukmin, semakin tua seharusnya berarti semakin bijak, karena setiap detik yang berlalu adalah guru terbaik, dan setiap kelemahan fisik adalah penuntun menuju kekuatan spiritual. Inilah puncak hikmah: memahami bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan, dan menyiapkan bekal adalah tindakan paling rasional yang harus dilakukan oleh seorang yang berakal.

 

Kontributor: Kardi (Anggota Majelis Tabligh PCM Pandanarum dan Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara)

Editor: Dhimas

 

Mungkin Anda Suka