Seekor hewan dengan tubuh gemuk dan wajah lugu. Tapi di dalam kitab suci tiga agama besar namanya ditulis dengan tanda peringatan. Diharamkan, dilarang, bahkan dijauhi. Kenapa Islam yang merupakan agama dengan lebih dari 2(dua) miliar pemeluk keyakinannya begitu tegas melarang daging babi? Apa benar karena alasan kesehatan semata? Atau ada rahasia langit yang belum kita pahami sepenuhnya? Dari ayat suci hingga hasil laboratorium modern, kita akan menyelami larangan ini. Bukan hanya dari sisi agama, tapi juga dari kacamata ilmu pengetahuan. Selamat datang di perjalanan penuh tanda tanya di mana Wahyu dan Sains bertemu dan jawaban perlahan terungkap.
Satu hal dasar yang wajib kita pahami, bahwa dalam Islam, tidak semua makanan bisa sembarangan dikonsumsi. Ada yang halal dan ada yang haram. Tapi dari sekian banyak yang diharamkan, babi adalah salah satu yang disebutkan langsung dan berulang dalam Al-Quran.
Allah Subhanahu wa taala berfirman,
اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah.” (Al Baqarah ayat 173).
Jika diperhatikan larangan ini tidak hanya satu kali disebutkan, tapi diulang, berulang seakan Allah ingin memastikan kita benar-benar memperhatikannya. Disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 4 kali. QS Al Baqarah ayat 173, Al Maidah ayat 3, Al-An’am ayat 145 dan An Nahl ayat 115.
Kemudian mengapa babi? Mengapa bukan hewan buas lain seperti singa, harimau, atau bahkan ular yang lebih menakutkan? Kenapa justru seekor hewan yang terlihat jinak bahkan tampak lucu di mata sebagian orang?
Dalam Islam larangan bukan sekadar tentang tampak luar, tapi tentang kebersihan lahir dan batin, spiritualitas, dan kesehatan jiwa. Para ulama menjelaskan, babi adalah hewan yang hidup dalam kotorannya sendiri. Memakan apapun termasuk bangkai. Di dalam hukum fikih, ia disebut sebagai najis ainiah, yaitu najis mutlak yang dimana tubuhnya sendiri adalah najis, bahkan jika disamak sekalipun. Bukan hanya tubuhnya yang diharamkan, bahkan menjual, memperjual belikan dan menyentuhnya pun termasuk makruh atau haram dalam berbagai banyak pendapat ulama.
Ini menunjukkan bahwa larangan ini lebih dalam dari sekadar tidak boleh dimakan, dan tak hanya dalam Islam, dalam Taurat pun juga begitu. Tepatnya dalam kitab Imamat pasal 11 juga menyebutkan larangan serupa. Begitu pula dalam kitab-kitab Yahudi dan Kristen awal. Larangan babi adalah warisan spiritual yang diturunkan dari generasi ke generasi sebagai simbol kemurnian dan ketundukan.
Tapi seiring waktu, manusia mulai mempertanyakan, apakah ini hanya simbol ketaatan atau adakah hikmah dan fakta yang baru terungkap seiring berkembangnya ilmu pengetahuan? Karena ketika Tuhan melarang sesuatu, seringkiali itu bukan sekadar larangan, tapi perlindungan yang belum kita pahami saat itu.
Mari kita tinjau lebih dekat apa yang sebenarnya tersembunyi dalam tubuh babi dan bagaimana perspektif sains ini mulai menjawab apa yang dulu telah difirmankan langit.
Larangan dalam agama seringkali datang sebelum sains mengungkap sebabnya. Tapi di zaman ketika mikroskop sudah bisa menembus lapisan sel, manusia mulai menyadari bahwa setiap perintah Tuhan menyimpan perlindungan yang tak kasat mata. Mari kita lihat, babi bukan dari bentuk luarnya, tapi dari struktur tubuh, sistem pencernaan, dan bahayanya bagi kesehatan manusia.
Kontaminasi Parasit Paling Tinggi ada Pada Babi
Babi adalah salah satu hewan dengan tingkat kontaminasi parasit paling tinggi. Salah satu yang paling terkenal adalah cacing pita jenis taenia solium dan trikin spiralis. Parasit mikroskopis yang bisa hidup di daging babi, dan saat masuk ke tubuh manusia, ia mulai menyebar ke otot, hati, bahkan ke otak. Dalam banyak kasus, ini bisa menyebabkan penyakit serius yang disebut neurosiserkosis, yakni serangan pada otak yang bisa menyebabkan kejang hebat, kebutaan, bahkan kematian, semua risiko menakutkan tersebut bisa terjadi meskipun daging babi telah dimasak.
Babi yang dimasak asal-asalan juga tidak kan mematikan cacing dan larvanya, apalagi jika dimasak setengah matang seperti dalam beberapa budaya kuliner. Tapi itu baru permukaan.
Berbicara tentang kebiasaan hidup babi itu sendiri. Babi dikenal sebagai hewan omnivora ekstrem. Ia memakan apapun, sisa makanan busuk, sampah, kotorannya sendiri, bahkan bangkai sesama babi. Sistem pencernaannya sangat cepat sekitar 4 jam saja dibandingkan dengan sapi yang memamah biak dan memiliki empat perut serta sistem penyaringan kompleks. Akibatnya, racun, logam berat, dan patogen yang dimakan babi tidak sepenuhnya disaring, tapi justru tersimpan di dalam jaringan lemak dan dagingnya, dan ketika daging itu masuk ke tubuh manusia, kita tidak hanya memakan protein, tapi juga zat berbahaya yang bersifat bio-akumulatif, termasuk kolesterol jahat, virus, dan senyawa inflamasi.
Beberapa studi bahkan menemukan bahwa konsumsi daging babi berkorelasi dengan meningkatnya resiko penyakit seperti stroke, hipertensi, kanker usus besar, hingga diabetes tipe 2. Belum lagi ancaman dari virus-virus mutasi yang lahir dari tubuh babi. Masih ingat dengan wabah flu babi tahun 2009? Virus H1N1 yang melompat dari babi ke manusia menyebar ke lebih dari 214 negara dan menyebabkan kematian lebih dari 280.000 orang. Itu bukan satu-satunya. Babi adalah inkubator virus zoonosis, yaitu penyakit dari hewan yang bisa menular ke manusia.
Perspektif Agama Tentang Babi
Kini kita mulai bertanya ulang, apakah larangan Babi dalam Al-Qur’an hanya dogma kosong atau apakah itu peringatan jauh sebelum zaman kita mengerti resiko biologis? Larangan ini bukan soal menyiksa atau membatasi manusia, tapi justru sebaliknya melindungi sebelum kita mampu melindungi diri kita sendiri. Menjaga tubuh dan sekaligus menjaga kehormatan spiritual sebagai manusia. Karena ketika Tuhan berkata “jangan” bisa jadi itu adalah bentuk cinta yang belum kita pahami. Dan lewat ilmu, kini sebagian dari cinta itu mulai terlihat.
Dalam kitab Imamat pasal 11 ayat 7 sampai 8 menyebutkan, “Babi itu haram bagi kamu. Jangan makan dagingnya dan jangan sentuh bangkainya.” Dalam Yudaisme, larangan ini adalah bagian dari kode kekudusan pengingat bahwa umat harus menjaga diri dari najis dan keduniawian. Namun seiring waktu larangan itu mulai dilupakan. Budaya bergeser, manusia lebih memilih rasa daripada ketaatan.
Islam datang untuk menyempurnakan syariat dan kembali menegaskan larangan ini. Tapi lebih dari itu, Islam mengangkatnya menjadi simbol penyucian diri. Bukan sekadar apa yang tidak boleh dimakan, tapi apa yang tidak boleh melekat dalam gaya hidup muslim.
Babi dalam tradisi spiritual bukan hanya sekadar hewan. Ia dilambangkan sebagai simbol dari kerakusan, kekotoran, dan sifat tak terkendali. Ia hidup dalam kotoran, tak memilih apa yang dimakan, dan tidak punya naluri seleksi seperti hewan lain.
Larangan mengonsumsi daging babi, boleh jadi merupakan cara Tuhan untuk mengajari manusia agar dapat mengendalikan hawa nafsu. Mengajarkan kita bahwa tidak semua yang terlihat enak itu baik. Tidak semua yang menguntungkan itu benar. Karena dalam Islam, makan bukan hanya untuk kenyang, tapi untuk mensucikan jiwa dan menjaga akhlak.
Makanan yang kita konsumsi membentuk sel tubuh kita, mempengaruhi pikiran, dan melekat dalam karakter. Lebih dalam dari itu, larangan ini adalah latihan ketaatan. Ujian kecil yang menyaring siapa yang tunduk dan siapa yang menolak dengan alasan rasionalitas semata. Bayangkan jika manusia tak pernah mau taat pada hal kecil seperti makanan, bagaimana mungkin ia akan taat pada hal yang lebih besar?
Penutup
Di sinilah kita memahami bahwa larangan ini bukan sekadar larangan medis, tapi peringatan spiritual untuk menjaga tubuh dan menjaga ruh. Terkadang kita terlalu sibuk bertanya mengapa Tuhan melarang hingga lupa bahwa larangan itu adalah bentuk penjagaan. Seperti orang tua melarang anaknya menyentuh api bukan karena benci, tapi karena cinta yang besar yang tak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Dari langit wahyu diturunkan. Di bumi ilmu berkembang, dan di antara keduanya manusia mencari pemahaman. Larangan daging babi dalam Islam bukan sekadar perintah makan atau tidak makan, aturan tersebut adalah bagian dari sistem hidup yang suci, tertib, dan penuh hikmah.
Di satu sisi ia melindungi tubuh dari ancaman biologis yang tak kasat mata. Di sisi lain, ia mendidik jiwa untuk tunduk bahkan terhadap sesuatu yang mungkin belum bisa sepenuhnya dimengerti. Karena dalam Islam, tidak semua harus dimengerti sebelum ditaati, tapi siapa yang taat akan mulai mengerti.
Mungkin hari ini kita tahu bahwa babi membawa parasit virus penyakit. Tapi larangan ini bukan hanya soal itu. Ini adalah panggilan agar kita menjadi manusia yang bersih, lahir, dan batin.
Saat dunia menormalisasi segala hal, Islam justru hadir sebagai pengingat bahwa tidak semua yang biasa itu benar dan tidak semua yang lezat itu baik.
Tuhan tidak menciptakan larangan untuk menyiksa, tapi untuk menjaga. Barang siapa yang menjaga diri karena Allah, maka Allah akan menjaganya dari hal-hal yang tak terlihat.
Ditulis oleh : Panji Permono ( Mahasiswa Sekolah tabligh PWM JawaTengah dari Banjarnegara tahun 2025)