Ketahanan pangan adalah isu krusial yang menentukan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa. Dalam perspektif global, krisis pangan sering kali dipicu oleh faktor-faktor kompleks seperti perubahan iklim, konflik, dan ketidakadilan distribusi. Islam, sebagai agama yang holistik, tidak hanya memberikan panduan spiritual, tetapi juga menawarkan kerangka kerja etis dan praktis untuk membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Konsep ketahanan pangan dalam Islam melampaui sekadar ketersediaan makanan; ia mencakup aspek keberlanjutan, manajemen sumber daya, dan keadilan sosial.
Al-Qur’an memberikan landasan teologis yang kuat tentang pentingnya ketahanan pangan. Salah satu kisah yang paling relevan adalah kisah Nabi Yusuf As, dalam Surat Yusuf. Nabi Yusuf memberikan solusi strategis kepada Raja Mesir untuk menghadapi masa paceklik yang akan datang. Strategi ini mencakup tiga pilar utama: produksi massal, manajemen penyimpanan, dan efisiensi konsumsi. Allah SWT berfirman:
قَالَ تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدتُّمْ فَذَرُوهُ فِي سُنْبُلِهِ إِلَّا قَلِيلًا مِّمَّا تَأْكُلُونَ * ثُمَّ يَأْتِي مِن بَعْدِ ذَٰلِكَ سَبْعٌ شِدَادٌ يَأْكُلْنَ مَا قَدَّمْتُمْ لَهُنَّ إِلَّا قَلِيلًا مِّمَّا تُحْصِنُونَ
Artinya: “Yusuf berkata, ‘Agar kamu bertanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan pada tangkainya kecuali sedikit dari (gandum) yang kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.'” (QS. Yusuf: 47-48)
Ayat ini mengajarkan pentingnya perencanaan jangka panjang, manajemen stok, dan penghematan. Kisah Nabi Yusuf menjadi bukti nyata bahwa Islam mendorong umatnya untuk berpikir strategis dan proaktif dalam menghadapi potensi krisis. Konsep ini relevan dengan tantangan modern di mana ketidakpastian iklim dan ekonomi memerlukan kebijakan pangan yang terencana.
Selain itu, Islam menekankan pentingnya pertanian dan pemanfaatan lahan. Rasulullah SAW sangat menghargai kegiatan bercocok tanam. Beliau bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
Artinya: “Tidak ada seorang Muslim pun yang menanam sebuah pohon atau menanam sebuah tanaman lalu dimakan oleh burung, manusia, atau hewan, melainkan itu adalah sedekah baginya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menempatkan aktivitas pertanian sebagai ibadah yang bernilai sedekah. Hal ini memotivasi umat untuk terlibat langsung dalam produksi pangan, bukan hanya sebagai profesi, melainkan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT dan kontribusi kepada masyarakat.
Pakar fiqh kontemporer, Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawi, dalam pemikirannya tentang ekonomi Islam, menegaskan bahwa ketahanan pangan (al-amn al-ghidha’i) adalah bagian tak terpisahkan dari keamanan nasional (al-amn al-watani). Menurut beliau, suatu negara tidak akan mencapai kemandirian dan martabat jika masih bergantung pada impor pangan.
Beliau juga menekankan pentingnya menghindari israf (pemborosan). Al-Qur’an secara eksplisit melarang pemborosan dalam konsumsi:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya: “Makan dan minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Ayat ini tidak hanya berlaku pada individu, tetapi juga pada tingkat kebijakan. Pemborosan pangan, baik di tingkat rumah tangga maupun industri, adalah masalah etis dan ekonomi yang harus diatasi.
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, Al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya. Pangan dan sumber daya alam adalah titipan dari Allah yang harus dijaga keberlanjutannya. Ini mengarah pada konsep pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) yang tidak merusak lingkungan dan memastikan ketersediaan pangan untuk generasi mendatang.
Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa Islam menawarkan visi yang komprehensif untuk ketahanan pangan, yang terintegrasi antara dimensi spiritual dan praktis. Ajaran Al-Qur’an dan Hadis, yang diperkuat oleh interpretasi para ulama, mengajarkan pentingnya produktivitas, manajemen yang bijak, penghematan, dan keadilan dalam distribusi. Ketahanan pangan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab kolektif umat Islam. Dengan menerapkan nilai-nilai ini, kita dapat membangun sistem pangan yang tangguh, adil, dan berkelanjutan, sebagai wujud nyata dari ketaatan kepada Allah SWT dan kasih sayang kepada sesama.
Kontributor: Suyanto (Mahasiswa Sekolah Tabligh PWM Jawa Tengah di Banjarnegara)
Editor: Dhimas