Tidak ada pergerakan tanpa logistik, bahkan dalam keadaan genting seperti di medan peperangan sekalipun, ketersediaan logistik bisa sama pentingnya dengan ketersediaan persenjataan. Namun dalam hal ini saya tidak ingin membahas tentang logistik dalam arti “ketersediaan makanan”. Lebih tepatnya saya ingin sedikit ngrasani tentang adanya kebijakan SWP (Sumbangan Wajib Pribadi) dan SWO (Sumbangan Wajib Organisasi) yang pastinya tidak asing di tubuh persyarikatan Muhammadiyah.
SWP maupun SWO dalam sebuah kegiatan hampir mirip seperti HTM, yang kemudian akan dikonversi menjadi “produk logistik” para peserta seperti snack, makan siang, hingga seminar kit untuk menunjang jalannya acara.
Dalam beberapa acara, terkadang saya mendengar suara dari warga persyarikatan yang keberatan atau justru merasa “belum ikhlas” membayar SWP, perasaan “merasa berat” untuk membayar SWP dan SWO tentu tak bisa disalahkan sepenuhnya, toh kita tidak bisa gebyah uyah terhadap kemampuan finansial para kader maupun organisasi dari level ranting hingga daerah.
Namun, panitia penyelenggara juga membutuhkan logistik (baca: fresh money) agar acara bisa berjalan lancar, karena seperti tidak mungkin sebuah acara berjalan selama lebih dari 4 jam tanpa adanya makanan. Oleh karena itu, penarikan SWP dan SWO menjadi jalan ninja panitia agar acara bisa berjalan tanpa kendala, mulai dari persiapan hingga penutupan acara.
Lantas bagaimana jika kita memimpikan adanya acara Muhammadiyah tanpa SWP dan SWO? Tentu saja hal tersebut bisa saja terjadi, karena mungkin saja panitia memiliki akses untuk mendapatkan sponsor dari AUM, misalnya saja seperti acara yang diselenggarakan oleh MPI PWM Jateng di Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), di mana kampus tersebut menjadi sponsor dengan menyediakan penginapan gratis untuk para peserta yang hadir dari berbagai daerah.
Namun tentu saja kita tidak bisa gebyah uyah atas konsep tersebut untuk acara yang diselenggarakan di Wilayah lain. Hal ini karena kondisi finansial di masing-masing daerah, cabang hingga ranting tentu berbeda-beda. Dan berbeda pula kemampuan panitia dalam mengusahakan dana agar tidak menarik biaya dari SWP dan SWO.
Dalam kesempatan ini, saya ingin mengajak rekan-rekan untuk bersepakat terlebih dahulu, sebelum nantinya diskusi ini membutuhkan injury time. Saya ingin mengajak rekan-rekan bersepakat bahwasanya SWP maupun SWO adalah bentuk keikutsertaan kader maupun organisasi untuk terlibat dalam pergerakan Muhammadiyah.
Menurut hemat saya, hal yang terkesan “memberatkan” adalah, adanya kata “wajib” dalam SWP dan SWO setelah kata “sumbangan”, bukankah kata sumbangan itu harusnya seikhlasnya?
Mari kita merujuk pada kata sumbangan itu sendiri. Sumbangan merupakan sinonim dari kata donasi yang diserap dari Bahasa latin: donation, yang artinya adalah sebuah pemberian yang pada umumnya bersifat secara fisik oleh perorangan atau badan hukum, pemberian ini mempunyai sifat sukarela dengan tanpa adanya imbalan bersifat keuntungan kepada orang lain.
Jika merujuk pada pengertian di atas, tentu saja kalimat “Sumbangan Wajib” adalah hal yang perlu dikritisi. Karena kata sumbangan sangat erat kaitannya dengan keikhlasan penyumbang, sedangkan kata “wajib” menunjukkan bahwa adanya ketentuan yang tidak bisa ditawar, simpelnya wajib ikhlas atau ikhlas yang diwajibkan.
SWO dan SWP Adalah Bukti Kemandirian
Meski demikian, SWO dan SWP adalah bukti kemandirian dan kemampuan kader untuk terlibat dalam kegiatan Muhammadiyah. Tak jauh berbeda ketika kita kondangan lalu memberikan amplop (baca: sumbangan) kepada rekan kita yang mempunyai hajat. Di mana dalam amplop tersebut ada dukungan dan doa untuk rekan kita yang menikah.
Oleh karena itu, SWP dan SWO tentu saja tidak bisa hilang begitu saja, meski bisa dimungkinkan kebijakan tentang penarikan sumbangan masih bisa berubah.
Justru ketika ada acara Muhammadiyah yang tidak menarik SWP maupun SWO, tentu kita perlu berhati-hati. Bahkan kita perlu tahu siapa yang mendukung acara tersebut, karena bukan tidak mungkin acara Muhammadiyah menjadi semacam ajang pencarian dukungan politis. Karena memang tidak sedikit elit Muhammadiyah yang berkecimpung di dunia politik.
Tentunya Muhammadiyah memang tidak alergi dengan politik, namun menjadikan Muhammadiyah sebagai Praktik pragmatisme politik tentu bukan hal yang bijak. Simpelnya begini, tenar-tenarkanlah Muhammadiyah, jangan mencari tenar di Muhammadiyah.
Bukan tidak mungkin, ada elit Muhammadiyah yang juga elit politik yang justru menjadi donatur besar dalam acara Muhammadiyah, memang hal itu bukanlah sebuah kesalahan, asalkan donasi ataupun sumbangan tersebut tidak dilandasi birahi elektoral.
Jangan sampai, sumbangan ataupun donasi dari elit politik hingga membuat panitia tidak perlu menarik SWP atau SWO, menjadi praktik pragmatisme politik.
Kesimpulan
Merasa berat untuk membayar sumbangan wajib baik SWP maupun SWO tentu saja wajar, namun selama Sang Surya Tetap Bersinar, tentu masih ada jalan untuk memenuhi besaran SWP ataupun SWO yang ditetapkan, mungkin dari kantong pribadi ataupun dari uang kas organisasi baik dari level Daerah hingga Ranting. Jika memang terasa berat untuk membayar, tapi ghirah bermuhammadiyah telanjur berapi-api, bukanlah hal dosa untuk “berkoordinasi” (baca: minta uang) kepada Pimpinan ataupun Amal Usaha yang ada di lingkungan Muhammadiyah.
Namun, jika ternyata ada acara Muhammadiyah yang tidak menetapkan besaran SWP dan SWO, tentu perlu ditelisik, apakah acara tersebut merupakan acara Muhammadiyah, ataukah acara tersebut justru menjadi “kendaraan politis” untuk mencari tenar di Muhammadiyah.
Jadi apakah mungkin kita bermuhammadiyah tanpa SWP dan SWO? Tentu saja jawabannya sangatlah mungkin, asalkan ada pihak yang berkenan menjadi donatur, atau ada pihak yang mau memenuhi ketentuan proposal yang diajukan panitia.
Penulis: Dhimas Raditya Lustiono, S.Kep (Anggota MPI PDM Banjarnegara)