Puasa Arafah sudah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW sejak sebelum pelaksanaan ibadah haji di masa Islam, hal ini diketahui oleh para Sahabat. Dalam hadits disebutkan :
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ [رواه أحمد وأبو داود]
Dari Hunaidah ibn Khalid, dari istrinya, dari salah seorang istri Nabi SAW, ia berkata : Adalah Rasulullah SAW (biasa) melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, tiga hari pada tiap bulan, pada hari Senin awal bulan dan dua Kamis. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dianggap biasa tentu bukan hanya sekali atau dua kali, tapi sudah bertahun-tahun. Padahal haji di masa Islam ketika Rasulullah masih hidup baru terjadi pada tahun ke-sembilan, di mana haji dipimpin oleh Abu Bakar sedangkan Rasulullah tidak ikut serta, dan tahun ke-sepuluh yang merupakan satu-satunya haji Rasulullah SAW di masa Islam. Ketika haji inilah para Sahabat sempat berselisih apakah Rasulullah puasa atau tidak ketika wukuf di Arafah, yang ditegaskan dalam hadits bahwa ketika wukuf beliau tidak berpuasa.
عَنْ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ إِنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ مَيْمُونَةُ بِحِلاَبِ اللَّبَنِ وَهُوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ فَشَرِبَ مِنْهُ وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ
[رواه البخارى ومسلم].
Dari Maimunah istri Nabi SAW, bahwa ia berkata : Orang-orang meragu apakah Nabi SAW berpuasa pada hari Arafah. Lalu Maimunah mengirimkan pada beliau satu wadah berisi susu ketika beliau sedang wukuf, lantas beliau minum dan orang-orangpun menyaksikannya. [HR al-Bukhari dan Muslim]
Lantas kenapa para Sahabat berselisih? Karena puasa di hari itu sudah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW sejak sebelum melaksanakan haji.
Maka dapat dipahami bahwa sebelum ada pelaksanaan haji, puasa Arafah sudah biasa dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah meskipun tidak ada jamaah haji yang wukuf di Arafah. Sehingga puasa Arafah tidak selalu terikat dengan wukuf di Arafah.
Dari penjelasan ini, ada beberapa kesimpulan yang bisa kita pahami terkait dengan puasa Arafah :
- Puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah
- Puasa Arafah tidak harus mengikuti jadwal dengan wukufnya jamaah haji di arafah
- Hari Arafah adalah sebutan hari pada tanggal 9 Dzulhijjah, bisa bertepatan dengan wukuf haji di Arafah ataupun tidak.
- Apabila terjadi perbedaan penentuan tanggal antara Indonesia dengan Saudi, maka warga Indonesia harus mengikuti tanggal setempat, demikian juga dengan negara-negara lain.
- Bila kalender global telah diterima secara menyeluruh oleh dunia Islam, tentulah perselisihan ini akan hilang.
Muhammadiyah dalam salah satu edarannya telah menegaskan maklumat yang sama sebagaimana dijelaskan pada tulisan di atas, bahwa intinya puasa Arafah dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah, meskipun tidak bersesuaian dengan wukufnya jamaah haji di Arafah.
Banjarnegara, 4 Dzulhijjah 1445
Kontributor : Heri Sunaryo bin Djuwari (Ketua LDK PDM Banjarnegara, Ketua PDPM Banjarnegara, Anggota MTT PCM Merden, Pamong asrama putra PPM Daarul Falaah Muhammadiyah Merden, Alumnus Kuliah Dasar Tarjih)
Editor : Dhimas