Sebagai sarana untuk menuntut ilmu, pendidikan menjadi aspek penting dalam kehidupan semua orang. Orang yang yang mengenyam pendidikan tentu akan dikatakan berpendidikan atau disebut pembelajar. Hal ini dapat diartikan, belajar adalah cara terbaik manusia untuk terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan memanfaatkan pendidikan sebagai jalan menuju kesejahteraan serta meningkatkan harkat dan martabat sebagai seorang manusia.
Mengenyam pendidikan menjadi sebuah kewajiban bagi semua orang untuk senantiasa belajar dan menuntut ilmu. Hal ini sejalan dengan seruan Nabi Muhammad SAW yang menyerukan bagi setiap muslim untuk menuntutt ilmu “Tholabul ilmi faridhotun ala kulli muslimin”, yang berarti “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Muslim). Seruan untuk menuntut ilmu juga digaungkan oleh pemerintah Indonesia melalui PMU Pendidikan Menengah Universal) agar masyarakat wajib bersekolah 12 tahun. Kewajiban ini tentu berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia.
Dengan menjadi manusia berilmu, derajat seseorang tentu akan naik dan semakin tinggi ilmu seseorang tentu akan membawa dampak yang lebih baik pula bagi para pemiliknya. Namun, di era serba AI ini, banyak permasalahan mengenai Angka Putus Sekolah (APS) yang perlu menjadi perhatian banyak pihak termasuk pemerintah.
Mari kita membuka mata, setiap tahunnya data anak yang putus sekolah selalu menunjukan persentase yang tidak sedikit, artinya, dari sekian banyak pelajar Indonseia saat ini, jika ada secuil 0,1% yang menujukan angka putus sekolah, berarti masih ada permasalahan yang perlu digali lebih mendalam terkait hal tersebut.
Melansir dari goodstats.id, jumlah siswa putus sekolah mengalami kenaikan pada tahun ajaran 2022/2023. Angka putus sekolah di berbagai Tingkat Pendidikan mencapai 76.834 orang, dengan rincian putus sekolah di Tingkat SD mencapai 40.623 orang, Tingkat SMP 13.716 orang, Tingkat SMA 10.091 orang, dan SMK 12.404 orang,
Dari angka tersebut, jumlah putus sekolah di Tingkat SD tampak masih mendominasi sejak tahun lalu dibandingkan dengan tingkakatan lainnya. Meski demikian, APS tertinggi terdapat pada jenjang SMK yaitu sebesar, 0,24% dan APS tersendah terdapat pada SMP yaitu 0,14%.
Dari data tersebut, angka siswa yang putus sekolah pasca sekolah dasar (SD) tentu harus menjadi perhatian tersendiri. Siswa-siswa tersebut kemungkinan besar tidak memutuskan secara pribadi bahwa mereka menginginkan putus sekolah, namun ada faktor dari pengaruh keluarga yang mungkin berdampak pada siswa tersebut harus berhenti sekolah.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan, mayoritas atau 76% keluarga mengungkapkan penyebab utama anak mereka putus sekolah adalah karena faktor ekonomi. Sebagaian besar atau 67% di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara sisanya 8,7% harus mencari nafkah.
Siswa-siswa yang berhenti sekolah pasca sekolah dasar adalah mereka dengan usia-usia terbaik untuk belajar dan memperdalam ilmu. Pengetahuan-pengetahuan dasar yang sudah mereka dapatkan di bangku SD tentu sudah sepatutnya diteruskan pada jenjang selanjutnya. Namun jika memutuskan untuk berhenti sekolah, kesempatan untuk mendapatkan ilmu yang lebih baik akan berkurang atau bahkan hilang, sehingga pembiaran terhadap masalah ini akan meningkatkan jumlah orang yang kurang terdidik, dampaknya ketimpangan sosial akan terus terjadi.
Ketimpangan sosial bisa terjadi tatkala perusahaan ataupun pabrik-pabrik hanya menerima karyawan lulusan SMA/SMK. Lalu mereka yang hanya memiliki ijazah SD atau SMP hanya bisa gigit jari karena ijazah yang mereka miliki tidak mampu memenuhi prasyarat untuk dapat bekerja di pabrik atau perusahaan.
Meski banyak beasiswa yang ditawarkan oleh pemerintah, rupanya faktor ekonomi juga menjadi masalah terbesar yang menyebabkan seseorang tidak lanjut sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan ekonomi yang belum maksimal menjadi cerminan kondisi Indonesia saat ini. Ketimpangan sosial ekonomi antara si kaya dan si miskin seharusnya tidak menghalangi seseorang untuk berhenti menutut ilmu.
Namun, hal ini tidak menggambarkan permasalahan secara utuh. Dalam konteks bersosial, faktor lingkungan juga sangat berpengaruh, usia-usia pelajar yang masih labil tentu mudah sekali dimasuki berbagai pengaruh dari dunia digital yang mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehiduapan sehari-hari.
Kontrol orang tua menjadi sangat penting dalam hal ini. Mengawasi dan mengendalikan anak untuk berkembang sesuai usianya harus menjadi perhatian tersendiri. Di luar kewajibannya untuk bersekolah, mengawasi dan membimbing anak dengan penuh perhatian di lingkungan keluarga akan berdampak positif terhadap perilaku dan perkembangan sosial dan emosionalnya.
Kesadaran untuk terus menuntut ilmu juga harus selalu disosialisasikan serta digaungkan agar semangat menuntut ilmu terus tetap terjaga. Sebagai masyarakat, tentu hal ini juga menjadi kewajiban untuk memperhatikan lingkungan kita dan saudara-saudara terdekat kita agar senantiasa mengingatkan kesadaran akan pentingya pendidikan.
Menutup tulisan ini, besar harapan saya kepada pemerintah Indonesia memiliki terobosan untuk menciptkakan program-program yang lebih efektif dalam rangka menekan angka putus sekolah.
Oleh: Isnan Shaffan Firdaus (Guru Penjas di MTs Muhammadiyah Merden)
Editor : Dhimas