Berita di televisi menayangkan cuplikan jalanan yang macet karena adanya kepadatan pergerakan arus kendaraan. Momen akhir tahun menjadikan sebagian orang untuk bepergian menuju suatu tempat, baik untuk bersilaturahmi atau untuk sekadar berlibur melepas penat dari rutinitas.
Perayaan tahun baru memang tidak memiliki seremoni saklek, sebagian masyarakat justru membuat seremoni tersendiri seperti bebakaran di teras rumah atau sekadar masak bersama dilanjut makan bersama, hal ini tentu saja membuat penjual arang dan jasa penyewaan alat bakar daging mengalami peningkatan omzet.
Namun seremoni tersebut tentu saja akan menjadi nirmakna ketika dirayakan dengan hura-hura dan foya-foya. Momen tahun baru sudah semestinya meningkatkan kesadaran serta rasa syukur, bahwa Allah SWT masih mengizinkan kita untuk menikmati kehidupan di dunia hingga detik ini bahkan saat kita mengganti kalender yang tergantung di dinding rumah.
Di waktu yang sama namun di tempat berbeda, masih ada saudara kita yang bahkan kesulitan untuk mendapatkan makanan ketika kita masih bisa bebakaran Bersama teman ataupun keluarga. Saudara kita di Gaza masih dirundung kesedihan akibat kekejaman Zionis yang mempersempit akses bantuan makanan. Hal tersebut yang akhirnya membuat Pakistan memutuskan untuk tidak merayakan tahun baru sebagai bentuk empati kepada warga Palestina.
Seremoni tahun baru di Indonesia telah menjadi template yang mudah ditebak, seperti gelaran konser di mana puncaknya adalah penghitungan mundur pergantian tahun, sampai pada acara bakar-bakar di malam pergantian tahun.
Sedangkan keesokan harinya, kita akan terbangun di tahun yang baru dengan masih membawa “rasa” yang sama. Pergantian tahun seakan tak ubahnya mengganti kalender lawas dengan kalender yang baru yang didapat dari koperasi atau yang dibeli dari penjual asongan.
Sadarkah kita bahwa seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi menjadi semakin tidak mudah ditebak. Keberadaan Artificial Inteligence (AI) membuat manusia semakin ahli dalam membuat sesuatu secara digital. AI telah membuat seseorang bisa menjadi desainer grafis tanpa harus belajar ilmu desain, bahkan AI bisa membuat naskah presentasi tanpa harus berkutat dengan aplikasi power point.
Kemajuan zaman ini sudah semestinya kita sadari, bahwa semakin bertambahnya tahun, manusia akan hidup dengan segala kepraktisan. Dulu orang tua kita dan mbah-mbah kita harus membeli kaset untuk mendengarkan lagu yang digemarinya. Namun saat ini, cukup dengan perintah “ok Google” semua lagu dari semua genre bisa kita dengar dari gawai yang kita genggam setiap harinya.
Hal serba praktis inilah yang semestinya harus diwaspadai, mahasiswa saat ini bisa membuat naskah presentasi dalam waktu kurang dari 3 menit, padahal dulu para dosen harus menggambar manual di plastik ukuran A4 untuk kemudian dipancarkan ke dinding dengan mesin OHP.
Dulu orang tua kita bersabar menunggu balasan surat dan bersabar menunggu kedatangan Pak Pos. Namun saat ini, di era serba digital yang menjunjung tinggi kecepatan akses internet, tertundanya pesan selama 10 menit saja sudah membuat sebagian dari kita misuh-misuh hingga mengkambing hitamkan provider.
Kemajuan teknologi tentu saja merupakan hal yang harus kita syukuri, namun pemanfaatan teknologi yang tidak tepat juga bisa mempermudah seseorang untuk berbuat tidak baik. Judi online misalnya, dulu orang berjudi harus bertemu di suatu tempat dan harus membawa uang cash, sedangkan saat ini aktivitas berjudi bisa dilakukan bahkan sambil rebahan tanpa harus berkumpul atau bertemu dengan lawan judinya. Artinya kecanggihan teknologi tidak hanya membantu kebaikan manusia, tetapi juga membantu manusia untuk berbuat tidak baik.
Kita perlu menyadari, bahwa secanggih apapun teknologi saat ini, hal tersebut adalah buatan manusia, sehingga manusia harus tetap melibatkan “rasa” ketika memanfaatkan teknologi tersebut. Seperti rasa takut berbuat maksiat ketika sedang tenggelam dalam dunia maya.
Kita juga perlu melibatkan rasa syukur ketika kecanggihan teknologi justru membuat seseorang dapat memperlebar ekspansi bisnisnya. Atau kita juga perlu bersyukur bahwa dengan kemudahan teknologi, kita bisa dengan mudah menyalurkan zakat tanpa harus datang ke kantor Lembaga Amil Zakat.
Semoga di tahun yang baru, “rasa” yang telah terpatri dalam tubuh kita tidak luruh dengan hadirnya kepraktisan yang ada, semoga “rasa” yang ada dalam diri kita tidak terjebak dalam kemaksiatan yang menawarkan nikmat sesaat, dan semoga rasa yang kita miliki tidak berhenti mengucap syukur pada Allah SWT.
Akhir kata, siapkah kita melangsungkan seremoni Tahun Baru dengan “rasa” yang ada, ataukah rasa itu masih sama dan belum berganti, padahal kalender lama sudah berganti.
Penulis : Dhimas Raditya Lustiono, S.Kep (Seorang Perawat di Klinik Utama PKU Muhammadiyah Merden dan sudah memiliki NBM)
Editor : Dhimas